
(Ilustrasi: AI)
Bagi rekan-rekan mahasiswa sekalian yang mungkin peradaban digitalnya hanya sebatas grup WhatsApp angkatan dan portal akademik, izinkan saya memberi sedikit konteks. Telah muncul fenomena di media sosial kita, banyak akun-akun anonim bermunculan mengatasnamakan institusi kita dengan nama samaran, sebut saja Saizu. Dan yang paling populer tentu saja adalah media sosial dengan nama “Saizu Cantik”.
Konsepnya sederhana, nyaris primitif. Admin anonim ini, yang mungkin waktu luangnya lebih banyak dari SKS kita, bertindak sebagai kurator. Mereka memajang foto-foto mahasiswi kampus kita yang menurut standar dewan juri internal mereka yang agung dianggap cantik. Entah itu hasil candid dari jarak jauh, entah hasil repost, foto-foto itu dipajang, diberi nama serta asal fakultas, dan disajikan ke publik. Persis seperti katalog barang di etalase toko.
Bagi sebagian orang ini jelas sebuah hiburan. “Cuci mata”, kata mereka. “Bentuk mengapresiasi keindahan,” bela yang lain. Sebuah perayaan visual yang polos dan menyenangkan di tengah kampus yang (katanya) serius.
Tentu saja tidak semua orang mau menelan kepolosan palsu itu. Akhirnya ada yang angkat bicara. Seorang mahasiswi yang berani, yang sepertinya benar-benar menyimak di kelas teori komunikasi, menunjuk pada praktik ini dan menyebutnya dengan nama aslinya. Dia tidak menyebutnya apresiasi. Dia menyebutnya objektifikasi tubuh perempuan.
Wahai para admin yang terhormat, yang mungkin sudah merasa setara dengan kurator galeri nasional, tentu saja merasa tersengat. Kritik itu dianggap sebagai serangan. Dan seperti yang bisa diduga dari akun anonim yang kurang percaya diri, alih-alih introspeksi, mereka mengeluarkan sebuah Klarifikasi.
Dan di sinilah letak keajaibannya. Klarifikasi itu tidak berisi permintaan maaf. Klarifikasi itu adalah sebuah parade jargon akademis yang mereka pinjam tapi tidak mereka pahami. Dengan nada yang teramat bijak, mereka meminta si pengkritik untuk melihat dari “semua sudut pandang”. Dan puncaknya, sebuah permintaan agung, mereka menantang kita semua untuk menggunakan “paradigma yang lebih kritis lagi”.
Mari kita berhenti sejenak. Mari kita beri tepuk tangan yang meriah.
Ini adalah sebuah undangan. Sebuah tantangan untuk berdiskusi di level yang lebih tinggi.
Baiklah, mari kita kabulkan permintaan itu. Mari kita mulai kuliah gratis paradigma kritis ini, khusus untuk para admin “Saizu Cantik” yang tampaknya kemarin bolos kelas Pengantar Studi Gender.
Kalian meminta saya menggunakan “paradigma yang lebih kritis lagi”. Ini adalah sebuah ironi yang begitu lezat, dan kami hampir tersedak.
Wahai admin yang budiman, tahukah kalian dari mana istilah “paradigma kritis” itu lahir? Ia lahir dari rahim Teori Kritis, yang di dalamnya bersemayam Teori Feminis. Dan tahukah kalian apa yang menjadi sarapan pagi, makan siang, dan makan malam Teori Feminis selama puluhan tahun terakhir? Mereka mendedikasikan hidup mereka untuk membongkar, menganalisis, dan melawan praktik objektifikasi tubuh perempuan di media dan masyarakat.
Teori Kritis-lah yang melahirkan konsep male gaze, atau tatapan laki-laki, yang menjelaskan bagaimana perempuan dalam budaya visual seringkali diposisikan sebagai objek pasif untuk dinikmati, bukan sebagai subjek aktif yang memiliki agensi. Teori Kritis-lah yang menjelaskan bagaimana media menciptakan standar kecantikan yang sempit, yang memaksa perempuan lain merasa insecure dan terus-menerus mengawasi tubuhnya sendiri.
Jadi, ketika kalian meminta si pengkritik untuk “lebih kritis lagi”, kalian sebenarnya sedang menyuruhnya untuk berteriak lebih kencang. Kalian memintanya untuk tidak hanya bilang “ini objektifikasi”, tapi juga bilang, “akun kalian adalah agen pelanggeng patriarki! Kalian adalah bagian dari sistem yang menormalkan male gaze! Kalian menciptakan penjara tak terlihat di mana perempuan dipaksa mendisiplinkan tubuhnya agar layak masuk feed kalian!”
Kalian baru saja menyerahkan amunisi paling mematikan kepada lawan debat kalian. Klarifikasi kalian adalah sebuah senjata makan tuan yang sempurna.
Masih belum paham? Oke, mari kita terjemahkan ke bahasa yang lebih sederhana, agar tidak ada alasan gagal paham.
Bayangkan kalian sedang bermain catur, tapi kalian tidak tahu aturannya. Lalu kalian memindahkan pion satu langkah ke depan dan berteriak “SKAKMAT!” Tentu saja kalian tidak “skakmat”. Kalian hanya terlihat bodoh karena menggunakan istilah yang kalian tidak pahami.
Itulah yang baru saja kalian lakukan.
Kalian berteriak Paradigma Kritis, padahal justru praktik akun kalian adalah musuh bebuyutan dari Paradigma Kritis. Paradigma Kritis itu ibarat induk singa yang paling galak melindungi anak-anaknya dari bahaya. Dan kalian, dengan bangganya, menyodorkan galeri foto kalian ke induk singa itu dan menyuruhnya untuk “lebih kritis lagi”. Tentu saja kalian dicabik-cabik.
Disini, Kalian jujur tidak terdengar lebih pintar. Justru kalian terdengar seperti orang yang salah membaca contekan saat ujian.
Selanjutnya, mari kita lanjut ke permintaan konyol kedua kalian untuk “melihat dari semua sudut pandang”.
Tentu, siap! mari kita lakukan. Ini bagian favorit saya
Ada sudut pandang kalian, para admin. Kalian mungkin merasa seperti pahlawan estetika. Kalian pasti beranggapan kalau itu hanya untuk sebagai bentuk “mengapresiasi keindahan”. Kalian dapat followers, engagement, dan mungkin rasa bangga karena menjadi penentu selera di kampus. Oke, dicatat.
(Ilustrasi: AI)
Lalu ada sudut pandang si pengkritik. Sudut pandang seorang perempuan yang muak melihat kawan-kawannya direduksi menjadi sekadar gambar pajangan. Sudut pandang seseorang yang melihat praktik ini sebagai langkah mundur di tengah perjuangan kesetaraan gender. Dicatat.
Tapi kalian melupakan “sudut pandang” yang paling penting.
Bagaimana dengan sudut pandang si “buaya darat”?
Bagi mereka, akun “Saizu Cantik” adalah sebuah anugerah. Sebuah prasmanan predator. Kalian telah bekerja keras untuk mereka. Kalian mengumpulkan foto-foto perempuan “terbaik” di satu tempat. Kalian memudahkan pekerjaan mereka. Mereka tidak perlu lagi stalking susah payah. Kalian memberi mereka katalog. Kalian memberi mereka “menu” harian. Kalian, wahai admin, adalah fasilitator mereka.
Dan yang paling krusial, bagaimana dengan sudut pandang penyintas kekerasan seksual di kampus ini?
Di sinilah letak kegagalan total nalar dan empati kalian. Inilah yang membuat klarifikasi kalian bukan hanya salah, tapi juga keji.
Kalian membuka galeri tubuh perempuan ini di sebuah rumah yang sedang berduka. Kalian melakukannya di sebuah institusi, kampus kita sendiri, yang masih menyimpan luka-luka kekerasan seksual yang belum tuntas.
Di saat yang sama ketika para penyintas berjuang menyembuhkan trauma mereka dalam diam. Di saat yang sama ketika kawan-kawan kita, para aktivis, berteriak serak memperjuangkan Satgas PPKS yang berpihak pada korban. Di saat yang sama ketika kita semua berusaha mati-matian membangun kesadaran dan menciptakan ruang aman.
Kalian hadir. Dengan bangganya. Membawa sebuah galeri yang menormalisasi pengawasan tubuh perempuan, yang secara aktif mengundang tatapan-tatapan penuh nafsu, yang mereduksi kawan-kawan kita menjadi sekadar objek pajangan.
Ah, tapi kami hampir lupa. Pasti ada satu benteng pertahanan terakhir yang kalian simpan, argumen bahwa kalian sudah mendapat izin dari si pemilik foto dan mungkin itu yang akan menjadi pembelaan kalian selama membuat akun ini.
Oke, dicatat. Mari kita bedah argumen rapuh soal “izin” itu. Memangnya kenapa kalaupun kalian sudah mengantongi izin?
Apakah izin individual itu bisa menghapus dampak kolektif?
Jika seorang mahasiswi setuju fotonya dipajang, apakah itu secara ajaib membuat para buaya darat memandangnya dengan hormat? Apakah dengan izin itu akan memastikan bahwa fotonya tidak akan discreenshot, disimpan di galeri pribadi orang mesum, atau dijadikan bahan fantasi?
Izin individual tidak bisa dan tidak akan pernah cukup untuk menutupi dampak budaya yang lebih luas. Izin personal tidak menjustifikasi pembuatan sebuah prasmanan predator. Izin satu orang tidak membatalkan fakta bahwa kalian sedang merusak perjuangan kolektif membangun ruang aman di kampus ini.
Keberadaan akun “Saizu Cantik” adalah sebuah penghinaan terhadap para penyintas. Itu adalah pesan bahwa perjuangan mereka tidak penting, selama kalian masih bisa dapat like dan followers.
Jadi, ya, saya sudah menggunakan “paradigma kritis” seperti yang kalian minta. Dan hasilnya jelas. saya sudah melihat dari “semua sudut pandang”, terutama sudut pandang yang kalian lupakan. Dan hasilnya adalah kritik itu tidak hanya valid. Kritik itu benar secara fundamental.
Klarifikasi kalian adalah sebuah kegagalan nalar dan kegagalan empati. Sebuah pertunjukan memalukan dari orang-orang yang mencoba terdengar pintar, namun justru menelanjangi kedangkalan pikirannya sendiri.
Penulis: Rendi
Editor: Fahmi Rahmatan Akbar, Muhamad Saepul Saputra

0 Komentar