Ticker

6/recent/ticker-posts

Menelusuri Jejak Banyumas Lewat Lukisan dalam Pameran Sastra Rupa Babad Banyumas



( pengunjung pameran sedang berpoto dan melihat lukisan-lukisan)
(dok; Fahmi Rahmatan Akbar)

Di tengah ruangan Hetero Space Purwokerto, aroma cat dan warna-warna hangat menyambut setiap pengunjung yang melangkah masuk. Selama lima hari, 22–26 Oktober 2025, ruang kreatif itu berubah menjadi galeri waktu menghidupkan kembali kisah Babad Banyumas lewat 30 lukisan karya 30 pelukis. Pameran “Sastra Rupa Babad Banyumas” ini adalah bentuk pertemuan antara sejarah, sastra, dan rupa, di mana legenda tentang Raden Baribin dan keturunannya Raden Katuhu diceritakan ulang melalui kuas dan warna.

Salah satu karya yang mencuri perhatian datang dari tangan Listyo Widodo, pelukis yang akrab disapa Olis. Dalam pameran ini, ia terpilih untuk mengeksekusi satu dari tiga puluh adegan yang diangkat dari kisah babad, yaitu adegan Raden Katuhu bersama Ki Ageng Buara di tengah hutan.

“Saya sendiri dapat bagian melukis kisah ketika Raden Katuhu hidup bersama Ki Ageng Buara, ayah angkatnya, setelah masa pengembaraan,” tutur Listyo dengan nada penuh semangat.

Jejak Leluhur dari Naskah ke Kanvas

Listyo menjelaskan bahwa pameran ini merupakan gagasan bersama antara Komunitas Pelukis Banyumas dan budayawan Nasirun Purwokartun, yang memberikan narasi serta arahan kepada para seniman. Dari tangan dan imajinasi mereka, babad yang selama ini dikenal dalam bentuk tulisan kemudian divisualisasikan menjadi karya seni rupa.

“Babad biasanya hanya kita temui dalam naskah atau cerita lisan,” ujar Listyo. “Melalui pameran ini, kami berusaha menghadirkan sejarah leluhur dalam bentuk yang bisa dilihat dan dirasakan. Ini cara baru untuk mewariskan sejarah, bukan lewat teks, tapi lewat rupa.”

Menurutnya, inilah yang membuat pameran Sastra Rupa Babad Banyumas terasa istimewa. Ia menyebutnya sebagai terobosan seni budaya lokal yang menggabungkan dua dunia, sastra dan seni lukis. Setiap perupa diberikan tanggung jawab untuk menafsirkan satu adegan penting dari perjalanan Raden Baribin hingga terbentuknya Kabupaten Banyumas oleh Joko Kaiman.

Ketika Katuhu Menyatu dengan Api dan Senja

Dalam kisah yang diceritakan oleh Listyo Widodo, salah satu pelukis yang mengangkat tema Babad Banyumas ke dalam kanvas, terdapat satu adegan yang disebutnya paling magis yakni ketika Katuhu menyalakan api menjelang senja.

Dalam kisah yang diceritakan oleh Listyo Widodo, disebutkan bahwa Raden Katuhu memiliki rutinitas menebang pohon bersama ayah angkatnya, Ki Ageng Buara. Sosok Ki Ageng Buara dikenal sebagai seorang petani dengan lahan yang luas, dan sejak masa pengembaraannya berakhir, Raden Katuhu yang saat itu baru berusia sekitar delapan belas tahun selalu diajak untuk ikut ke hutan menebang pohon yang kemudian diubah menjadi ladang pertanian.

Setiap pagi, keduanya berangkat bersama untuk bekerja. Namun, ada satu kebiasaan unik dari Raden Katuhu. Setiap sore ia selalu menolak untuk pulang bersama dengan ayah angkatnya. Ketika ditanya alasannya, ia hanya menjawab bahwa dirinya ingin menikmati senja. “Mungkin ini sepuhnya anak senja sudah dari era itu mas, sepuhnya anak senja dan lebih senja dari senja itu sendiri,” ujar Listyo dengan tertawa kecil.

Listyo menuturkan bahwa Ki Ageng Buara, tokoh dalam babad tersebut lama-kelamaan merasa penasaran terhadap kebiasaan aneh anak asuhnya itu. “Nah, lama-lama Ki Ageng Buara itu penasaran, kepo sebetulnya apa yang dikerjakan Katuhu ketika menjelang senja, kok enggak mau pulang bareng,” ujar Listyo mengenang kisah yang digarapnya ke dalam lukisan.

(lukisan karya Setyo Kusnanto (dok: Fahmi Rahmatan Akbar)

Ia lalu menuturkan secara runut bagaimana rasa ingin tahu itu membawa Ki Ageng Buara mengintai dari balik semak. Dari sana, ia melihat pemandangan yang tak lazim. Katuhu tampak sibuk mengumpulkan ranting-ranting kecil di tengah hutan, sementara kayu gelondongan besar ditumpuk di sudut pinggir. “Yang ranting-ranting kecil itu dikumpulkan di tengah, dibikinlah api unggun besar,” ujar Listyo.

Namun, apa yang terjadi setelah api menyala membuat bulu kuduk Ki Ageng Buara meremang. Dalam terangnya cahaya senja yang mulai padam, Katuhu masuk ke dalam api tetapi tubuhnya tidak terbakar sedikit pun. “Api itu kemudian meredup dan padam, menyisakan arang,” lanjut Listyo dengan nada pelan.

Dari sisa bara itu muncul pemandangan ganjil, siratan cahaya yang tampak diserap oleh tubuh Katuhu, lalu membuatnya berlevitasi perlahan ke atas. Tubuh Katuhu terangkat vertikal dengan wajah yang memancarkan sinar keemasan membentuk simbol Surya Majapahit, lambang dengan delapan arah mata angin. “Ia melayang dengan wajah bercahaya, membentuk Surya Majapahit, simbolik delapan arah mata angin,” jelas Listyo menirukan bagian kisah itu.

Sementara itu, Ki Ageng Buara yang mengintip dari balik pepohonan hanya bisa terpaku. Dalam bahasa Banyumas, adegan itu disebut ‘nginggeng’, mengintip dengan diam tapi penuh rasa takut. Dari sela-sela daun, Ki Ageng Buara melihat seluruh kejadian dengan ngeri yang tak terucap. Ia mulai meragukan asal-usul anak yang diasuhnya itu.

Listyo kemudian menambahkan, “Ki Agang Buara akhirnya parno, takut sendiri. Ia berpikir, sebetulnya anak yang kita adopsi ini manusia apa bukan, atau jangan-jangan siluman.” Malam itu juga, Ki Ageng Buara pulang terburu-buru dan melaporkan peristiwa aneh itu pada istrinya. Keesokan harinya, sang istri menyampaikan kabar itu kepada Bupati Wirasaba, hingga kisah tersebut menyebar menjadi legenda di masyarakat setempat. “Jadi itu adegan yang saya eksekusi dalam lukisan,” tutur Listyo.

Jejak Peradaban dari Majapahit hingga Banyumas

Listyo juga menuturkan bahwa seluruh alur pameran ini mengikuti perjalanan panjang sejarah Banyumas, mulai dari pelarian Raden Baribin dari istana Majapahit karena konflik politik, hingga lahirnya Kadipaten Wirasaba, cikal bakal Kabupaten Banyumas.

“Kalau dari rangkuman atau benang merah singkat dari saya pribadi ini suatu rentetan peradaban di mana itu melibatkan keturunan majapahit, keturunan pajajaran yang pada akhirnya menjadi manusia-manusia pilihan yang memiliki kiprah atau memiliki amanah yang berpengaruh yang pada akhirnya membentuk kadipaten atau Kabupaten Wirasaba yang kemudian menjadi Kabupaten Banyumas.” Ujar Listyo.

Pameran ini seolah menjadi catatan visual perjalanan sejarah itu. Setiap lukisan menjadi potongan waktu membangun jembatan antara masa lalu dan masa kini. Bagi Listyo, inilah bentuk penghormatan pada leluhur sekaligus cara memperkenalkan sejarah kepada generasi muda dengan cara yang lebih hidup dan dekat.

Bagi Listyo, makna terdalam dari keterlibatannya bukan hanya pada karya visualnya, tetapi juga pada nilai pendidikan yang bisa diwariskan. Ia berharap generasi muda tidak hanya mengenal Banyumas dari simbol-simbol modern, tetapi juga memahami akar sejarahnya.

Sementara itu Zein Ahmad, Ketua Pelukis Banyumas menyampaikan bahwa Pameran Sastra Rupa Babad Banyumas bukan sekadar ajang menampilkan karya, melainkan juga bentuk upaya menghidupkan kembali kesadaran sejarah dan budaya lokal di tengah masyarakat modern. Ia menilai bahwa saat ini minat baca masyarakat cenderung menurun, terlebih dengan hadirnya berbagai hiburan digital yang lebih menarik perhatian.

“Harapannya sebenarnya supaya masyarakat lebih mengenal sejarah Banyumas,” ujar Zein. “Budaya atau minat baca kan minim justru cenderung berkurang dengan adanya gadget ataupun tayangan-tayangan sekarang yang lucu-lucu. Makanya kita perlu memperkenalkan sejarah banyumas lewat senirupa gitu. Semoga dengan adanya pameran ini masyarakat lebih tahu tentang sejarah banyumas,” tambahnya. 

Penulis: Fahmi Rahmatan Akbar

Editor: Muhamad Saepul Saputra











Posting Komentar

0 Komentar