Gedung parlemen di Senayan kembali menjadi saksi bisu atas sebuah peristiwa yang kelak akan dicatat dalam lembaran hitam sejarah demokrasi Indonesia. Pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP oleh Dewan Perwakilan Rakyat menandakan bahwa negara sedang memproklamasikan sebuah kemunduran bagi prinsip due process of law atau proses hukum yang adil dan beradab. Kita sedang menyaksikan sebuah paradoks besar di mana instrumen hukum yang seharusnya melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan kekuasaan, justru diubah menjadi senjata mematikan yang melegalkan teror negara terhadap rakyatnya sendiri. Narasi pembaruan hukum yang didengungkan para elit politik hanyalah selubung palsu untuk menutupi ambisi besar menjadikan republik ini sebagai negara kekuasaan yang berlindung di balik jubah hukum.
Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk menelanjangi cacat logika dan cacat moral dari undang-undang ini, kita perlu memetakan terlebih dahulu secara rinci pasal-pasal mana saja yang telah diamandemen dan menyimpan potensi destruktif bagi kebebasan sipil.
Berdasarkan naskah final yang telah disahkan tersebut terdapat serangkaian perubahan radikal yang menyasar jantung prosedur penegakan hukum kita. Pasal-pasal krusial yang mengalami perubahan drastis tersebut meliputi Pasal 7 dan Pasal 8 yang merestrukturisasi hierarki penyidikan serta Pasal 5 yang meluaskan kewenangan penangkapan. Kemudian terdapat Pasal 90 dan Pasal 93 yang mengatur standar upaya paksa tanpa batasan jelas serta Pasal 112A dan Pasal 132A hingga Pasal 124 yang memberikan wewenang penyadapan dan penggeledahan tanpa izin hakim. Selain itu kita juga menemukan Pasal 16 yang melegalkan teknik investigasi penjebakan serta Pasal 74 yang mengatur penerapan keadilan restoratif di tahap awal dan Pasal 137 yang berpotensi melanggar hak penyandang disabilitas.
Mari kita bedah satu per satu anatomi pasal-pasal tersebut secara berurutan dan mendalam untuk memahami mengapa kita harus marah dan melawan.
1. Sentralisasi Kekuasaan Penyidikan: Menciptakan Superbody Kepolisian
Analisis pertama kita arahkan pada fondasi institusional yang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8. Kedua pasal ini secara eksplisit menempatkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil atau PPNS dan penyidik tertentu lainnya di bawah koordinasi dan pengawasan mutlak penyidik Kepolisian Republik Indonesia.
Bunyi Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal 8 Ayat (1):
• Pasal 7 Ayat (1): Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil atau pejabat lain yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang.
• Pasal 8 Ayat (1): Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a.
Implikasi hukum dari pasal ini sangatlah serius karena menciptakan sentralisasi kekuasaan yang luar biasa pada satu institusi yaitu Polri. Dengan menempatkan kepolisian sebagai satu-satunya pemegang komando atas seluruh aktivitas penyidikan di republik ini, maka undang-undang resmi telah mematikan prinsip checks and balances. Kita sedang menciptakan sebuah lembaga superbody tanpa pengawasan eksternal yang memadai sehingga potensi penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power menjadi sangat tinggi karena tidak ada institusi lain yang memiliki posisi setara untuk mengawasi gerak-gerik penyidik kepolisian.
2. Penangkapan di Tahap Penyelidikan: Kriminalisasi Berbasis Asumsi
Selanjutnya kita menyoroti Pasal 5 yang mengubah paradigma penangkapan secara fundamental. Dalam aturan baru ini aparat penegak hukum diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan pada tahap penyelidikan.
Bunyi Pasal 5 Ayat (1) huruf d;
• Pasal 5 Ayat (1) huruf d: Penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang: melakukan penangkapan dalam hal tertangkap tangan atau apabila menduga keras seseorang telah melakukan suatu tindak pidana.
Secara teoritis dan filosofis penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, yang artinya pada tahap penyelidikan belum ada kepastian hukum bahwa suatu kejahatan benar-benar terjadi. Dengan memberikan kewenangan merampas kemerdekaan seseorang berupa penangkapan pada tahap yang masih sumir ini jelas merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Warga negara dapat ditangkap dan ditahan hanya berdasarkan asumsi atau dugaan awal aparat tanpa didukung bukti permulaan yang cukup yang seharusnya baru dikumpulkan pada tahap penyidikan. Ini membuka ruang kriminalisasi yang sangat lebar bagi aktivis atau kelompok oposisi yang bisa ditangkap kapan saja dengan dalih penyelidikan.
3. Upaya Paksa Tanpa Standar Jelas: Hilangnya Perlindungan Warga
Ketidakpastian hukum semakin diperparah dengan keberadaan Pasal 90 dan Pasal 93. Pasal-pasal ini memberikan kewenangan kepada aparat untuk melakukan penangkapan dan penggeledahan serta penyitaan namun gagal menetapkan standar yang limitatif dan tegas mengenai kapan upaya paksa tersebut boleh dilakukan.
Bunyi Pasal 90 dan Pasal 93:
• Pasal 90: Penangkapan dapat dilakukan oleh penyidik dalam keadaan mendesak dan sangat diperlukan.
• Pasal 93: Penggeledahan dan penyitaan dapat dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan berdasarkan surat perintah yang sah, kecuali dalam keadaan mendesak dan sangat diperlukan.
Absennya frasa yang mengatur batasan waktu dan kondisi mendesak membuat tafsir atas “keadaan perlu” menjadi monopoli subjektif penyidik di lapangan. Tanpa parameter yang ketat maka jaminan perlindungan diri dan harta benda warga negara menjadi hilang. Setiap orang kini hidup di bawah bayang-bayang ketakutan bahwa mereka bisa digeledah dan disita asetnya sewaktu-waktu tanpa alasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara objektif.
4. Penyadapan dan Penggeledahan Tanpa Judicial Scrutiny: Bencana Bagi Demokrasi
Bagian paling mengerikan dari revisi ini yang menandai watak otoriter yang kental terdapat pada rangkaian Pasal 105 serta Pasal 112A dan Pasal 132A hingga Pasal 124. Deretan pasal ini memberikan cek kosong kepada aparat untuk melakukan penyadapan dan pemblokiran akun elektronik serta penggeledahan tanpa perlu mendapatkan izin penetapan dari ketua pengadilan negeri.
Bunyi Pasal 112A dan Pasal 132A :
• Pasal 112A: Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penyadapan, intersepsi, dan pemblokiran akun elektronik yang berkaitan dengan tindak pidana, dan wajib melaporkan kepada ketua pengadilan negeri paling lama 1x24 jam setelah tindakan dilakukan.
• Pasal 132A: Dalam hal diperlukan, penggeledahan dan penyitaan dapat dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan Negeri, dan wajib dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri paling lama 1x24 jam setelah tindakan dilakukan.
Penghapusan mekanisme judicial scrutiny atau pengawasan hakim dalam tindakan yang melanggar privasi ini adalah bencana bagi demokrasi modern. Negara melalui aparatnya kini memiliki akses tanpa batas untuk masuk ke ruang-ruang paling privat warganya mulai dari isi percakapan aplikasi pesan hingga data perbankan tanpa ada pihak ketiga yang independen untuk menilai urgensi tindakan tersebut. Bagi pers mahasiswa dan jurnalisme investigasi ini adalah lonceng kematian karena perlindungan narasumber menjadi mustahil dilakukan ketika aparat bisa menyadap dan memblokir akses komunikasi seenaknya.
5. Legalisasi Entrapment: Negara Menciptakan Kejahatan
Kejahatan legal berikutnya terselip dalam Pasal 16 yang melegalkan metode investigasi pembelian terselubung. Pasal ini berbahaya karena membuka celah praktik entrapment atau penjebakan yang dilakukan oleh negara.
Bunyi Pasal 16 Ayat (1):
• Pasal 16 Ayat (1): Penyidik dapat melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung (undercover buying) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery) untuk menemukan dan membuktikan suatu tindak pidana.
Aparat penegak hukum tidak lagi sekadar bertugas menindak kejahatan yang terjadi secara alamiah melainkan berpotensi menjadi agen provokator yang merekayasa situasi agar seseorang melakukan tindak pidana. Warga sipil yang awam hukum bisa dijebak untuk melakukan transaksi terlarang yang skenarionya disusun oleh intelijen demi memenuhi target operasi. Ketika negara justru aktif menciptakan pelaku kejahatan baru melalui rekayasa kasus, maka disitulah pertanda telah runtuhnya moralitas penegakan hukum kita.
6. Komersialisasi Hukum: Restorative Justice sebagai Jual Beli Perkara
Kita juga harus mewaspadai komersialisasi hukum yang tersirat dalam Pasal 74. Pasal ini memungkinkan penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif bahkan sejak tahap penyelidikan.
Bunyi Pasal 74 Ayat (2):
• Pasal 74 Ayat (2): Keadilan restoratif dapat diterapkan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan untuk tindak pidana tertentu.
Meskipun konsep ini terdengar humanis namun penerapannya di tahap penyelidikan yang sangat tertutup dan minim pengawasan rawan menjadi ajang transaksi jual beli perkara. Seseorang yang sedang diperiksa dapat ditekan secara psikologis untuk “berdamai” dengan membayar sejumlah uang ganti rugi yang fantastis agar kasusnya tidak dilanjutkan ke penyidikan. Hukum akhirnya hanya tajam kepada mereka yang miskin dan tumpul kepada mereka yang memiliki modal untuk membeli perdamaian di ruang interogasi.
7. Diskriminasi Terhadap Penyandang Disabilitas
Terakhir kita tidak boleh melupakan ketidakadilan yang diatur dalam Pasal 137 yang membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual.
Bunyi Pasal 137 Ayat (1):
• Pasal 137 Ayat (1): Dalam hal terdakwa tidak mampu bertanggung jawab atau disabilitas mental dan intelektual, hakim dapat menetapkan terdakwa ditempatkan di lembaga perawatan atau rumah sakit jiwa tanpa batas waktu tertentu.
Pasal ini menunjukkan wajah hukum yang tidak humanis dan cenderung diskriminatif terhadap kelompok rentan yang seharusnya mendapatkan perlindungan khusus dari negara.
Langkah Taktis dan Perlawanan
Lantas apa yang harus kita lakukan di tengah kepungan aturan yang mencekik ini?
Sikap apatis dan diam bukanlah pilihan yang bermartabat bagi kaum intelektual muda. Langkah pertama yang harus kita tempuh adalah melakukan pembangkangan sipil secara terukur dengan terus menyuarakan kebenaran di mimbar-mimbar akademik dan media massa. Kita harus membangun kesadaran kolektif bahwa kita sedang hidup dalam situasi darurat demokrasi.
Langkah strategis selanjutnya adalah menggalang kekuatan masyarakat sipil untuk mengajukan uji materi atau Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Fokus gugatan harus diarahkan untuk membatalkan pasal-pasal yang memberikan kewenangan absolut kepada aparat tanpa pengawasan hakim. Kita harus meyakinkan para hakim konstitusi bahwa penyadapan dan penangkapan tanpa izin pengadilan adalah pelanggaran konstitusional yang tidak dapat ditoleransi.
Selain jalur hukum formal kita juga harus memperkuat pertahanan diri melalui literasi keamanan digital dan keamanan hukum. Mahasiswa dan aktivis harus mulai disiplin menerapkan protokol keamanan dalam berkomunikasi dan berorganisasi karena negara kini memiliki mata dan telinga di mana-mana.
Pengesahan KUHAP baru ini adalah ujian terberat bagi integritas kita sebagai penjaga nilai demokrasi. Sejarah akan mencatat apakah kita memilih menjadi penonton yang pasrah saat keadilan dibunuh, atau kita memilih menjadi petarung yang berdiri tegak menantang tirani. Perlawanan ini mungkin akan panjang dan melelahkan namun menyerah pada ketidakadilan jauh lebih menyakitkan. Panjang umur perjuangan dan matilah tirani yang bersembunyi di balik undang-undang.
Penulis: Rendi
Editor: Fahmi Rahmatan Akbar, Muhamad Saepul Saputra


0 Komentar