Ticker

6/recent/ticker-posts

Kebebasan Pers di Kampus itu Realita atau Sekadar Retorika?


(Ilustrasi: AI)

Pers merupakan pilar keempat demokrasi, sebagai salah satu kekuatan dalam kehidupan demokratis seharusnya mampu berperan besar dalam mendorong partisipasi masyarakat dan menjaga bangsa agar menjadi lebih paham akan segala hal yang terjadi di negaranya. Dalam hal ini, fungsinya adalah sebagai watch dog atau anjing penjaga (kontrol sosial), sekaligus sebagai pemberi informasi kepada masyarakat.

Selaras dengan itu dalam dunia kampus yang katanya merupakan miniatur negara, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) juga berfungsi sebagai corong utama dalam kontrol sosial dan pemberi informasi. Namun kerapkali pers mahasiswa bukan berperan sebagai kontrol sosial di lingkungan kampus karena berbagai pembatasan yang diberikan dengan dalih ‘Menjaga nama baik Institusi’ atau bahkan ‘Kalian masih menggunakan dana kampus.’

Pers mahasiswa (Persma) juga seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyuarakan suara mahasiswa. Namun, tidak sedikit media mahasiswa yang mengalami sensor, bahkan pembredelan ketika menyentuh isu-isu kontroversial. Ini membatasi ruang dialog dan transparansi dalam kampus itu sendiri.

Jika ditelusuri sejatinya dalam lingkungan akademik kebebasan berpendapat merupakan salah satu pilar utama dalam kehidupan demokratis, idealnya kebebasan ini dijunjung tinggi sebagai bagian dari proses peningkatan critical thinking sekaligus pengembangan intelektual para mahasiswa. Namun benarkah kampus di Indonesia telah menjadi ruang yang benar-benar bebas untuk pers mahasiswa, ataukah hal ini hanyalah menjadi retorika yang tidak tidak sepenuhnya diwujudkan?

Makna Kebebasan Berpendapat di Kampus

Kebebasan berpendapat di kampus bukan hanya perihal bebas berbicara tanpa batas. Melainkan berdasarkan data dan mengemukakan pikirannya secara terbuka terhadap berbagai kebijakan kampus, serta melakukan upaya diskusi ataupun kajian ilmiah terhadap isu-isu sosial, politik, hukum, dan budaya.

Menurut UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, kampus memiliki fungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta agen perubahan sosial. Artinya, kampus seharusnya menjadi ruang aman untuk bertukar ide dan berpendapat, bahkan ketika hal yang didiskusikan  merupakan hal yang bertentangan dengan arus utama dalam lingkungan kampus.

Seharusnya LPM sudah memiliki wewenang lebih dalam hal ini, karena proses pengambilan dan pengumpulan informasi dalam dunia pers mahasiswa juga sudah terstruktur dengan baik. Namun sayangnya kerapkali pers mahasiswa tidak memiliki kekuatan sebesar perusahaan pers professional yang memiliki perlindungan dari Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Fakta Lapangan

Data yang didapat oleh Asosiasi Jurnalistik Indonesia melalui Laporan World Press Freedom Index 2025 yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) menyatakan bahwa indeks kebebasan Pers di Indonesia turun ke peringkat 124 dari 180 negara. Berbagai kasus kekerasan banyak terjadi terhadap jurnalis professional di daerah, termasuk kekerasan ini juga menimpa kepada para mahasiswa yang merupakan kalangan persma.

Kritik yang dilayangkan oleh para pers mahasiswa nampaknya justru menjadi bumerang bagi pers mahasiswa itu sendiri, terutama jika pers mahasiswa tengah berhadapan dengan pihak kampus. Anacamannya beragam mulai dari intimidasi, pemanggilan pihak keamanan, hingga ancaman drop out. Fenomena ini menunjukkan adanya ambivalensi  antara nilai ideal kebebasan berpendapat dan realitas represif yang dialami di lapangan.

Pada tahun 2025 terjadi aksi represifitas terhadap salah satu LPM di Indonesia ketika sedang meliput aksi demonstrasi di Solo. Berita ini berkembang secara masif dalam jejaring internet, korban mengalami berbagai intimidasi dan pengacaman oleh oknum keamanan walaupun sudah memberitahukan identiras dirinya yang merupakan seorang pers kampus.

(Sumber: LBH Medan)

Keberlanjutan Jurnalisme Kampus

Lembaga pers mahasiswa merupakan bagian penting dari keberlanjutan jurnalisme yang berkualitas. Upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk Asosiasi Jurnalis Indonesia (AJI) bersama Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Penguatan dan Perlindungan Aktivitas Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Persma berperan penting dalam stabilitas kehidupan kampus dengan peliputan beserta produk jurnalistik kampusnya agar menjadi kontrol sosial dan upaya analitis kritis. Selain itu pers kampus juga berperan dalam memerangi disinformasi dan meningkatkan kesadaran terhadap para mahasiswa di perguruan tinggi.

Dengan berbagai resiko yang didapat oleh persma, sangat diperlukan paying hukum yang kuat agar keberlanjutan LPM dapat berjalan, hal ini dibarengi oleh peningkatan kompetensi para anggota pers mahasiswa dalam berbagai bidang, terutama pemanfaatan Artificial Intelligence (AI).

Undang-undang KUHAP Terhadap Keberlanjutan Pers Mahasiswa

Pernyataan terbaru oleh Presidium Kaukus Indonesia untuk Kepentingan Akademik atau yang lebih akrab disebut KIKA mengatakan bahwa proses pembahasan RUU KUHAP yang dikebut dan mengandung substansi pasal bermasalah dalam pengesahannya akan berpotensi mengancam kebebasan akademik di tanah air.

Pasal 105, 112A, 132, dan 124 memungkinkan adanya penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, hingga penyadapan tanpa izin pengadilan yang berpotensi mengganggu kebebasan akademik.

Dengan belum adanya perlindungan yang kuat terhadap Lembaga Pers Mahasiswa, Undang-undang KUHAP ini akan dengan mudah menjaring para pers kampus yang bersuara lantang terhadap isu-isu sosial, politik, dan hukum. Kejadian pembredelan juga dapat dilakukan dengan mudah oleh perguruan tinggi itu sendiri terhadap para mahasiswanya ketika berpendapat dan melakukan analisis (diskusi) mengenai kasus-kasus yang menurut pihak kampus dapat mencederai almamater kampus.

Penulis: Novandi Ali Akbar

Editor: Fahmi Rahmatan Akbar, Muhamad Saepul Saputra 

Posting Komentar

0 Komentar