Pers merupakan
pilar keempat demokrasi, sebagai salah satu kekuatan dalam kehidupan demokratis
seharusnya mampu berperan besar dalam mendorong partisipasi masyarakat dan
menjaga bangsa agar menjadi lebih paham akan segala hal yang terjadi di
negaranya. Dalam hal ini, fungsinya adalah sebagai watch dog atau anjing
penjaga (kontrol sosial), sekaligus sebagai pemberi informasi kepada
masyarakat.
Selaras dengan itu
dalam dunia kampus yang katanya merupakan miniatur negara, Lembaga Pers Mahasiswa
(LPM) juga berfungsi sebagai corong utama dalam kontrol sosial dan pemberi
informasi. Namun kerapkali pers mahasiswa bukan berperan sebagai kontrol sosial
di lingkungan kampus karena berbagai pembatasan yang diberikan dengan dalih ‘Menjaga
nama baik Institusi’ atau bahkan ‘Kalian masih menggunakan dana kampus.’
Pers mahasiswa
(Persma) juga seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyuarakan suara
mahasiswa. Namun, tidak sedikit media mahasiswa yang mengalami sensor, bahkan
pembredelan ketika menyentuh isu-isu kontroversial. Ini membatasi ruang dialog
dan transparansi dalam kampus itu sendiri.
Jika ditelusuri
sejatinya dalam lingkungan akademik kebebasan berpendapat merupakan salah satu
pilar utama dalam kehidupan demokratis, idealnya kebebasan ini dijunjung tinggi
sebagai bagian dari proses peningkatan critical
thinking sekaligus pengembangan intelektual para mahasiswa. Namun benarkah
kampus di Indonesia telah menjadi ruang yang benar-benar bebas untuk pers
mahasiswa, ataukah hal ini hanyalah menjadi retorika yang tidak tidak
sepenuhnya diwujudkan?
Makna Kebebasan Berpendapat di Kampus
Kebebasan
berpendapat di kampus bukan hanya perihal bebas berbicara tanpa batas.
Melainkan berdasarkan data dan mengemukakan pikirannya secara terbuka terhadap
berbagai kebijakan kampus, serta melakukan upaya diskusi ataupun kajian ilmiah
terhadap isu-isu sosial, politik, hukum, dan budaya.
Menurut UU No. 12
Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, kampus memiliki fungsi sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta agen perubahan sosial.
Artinya, kampus seharusnya menjadi ruang aman untuk bertukar ide dan
berpendapat, bahkan ketika hal yang didiskusikan merupakan hal yang bertentangan dengan arus
utama dalam lingkungan kampus.
Seharusnya LPM
sudah memiliki wewenang lebih dalam hal ini, karena proses pengambilan dan
pengumpulan informasi dalam dunia pers mahasiswa juga sudah terstruktur dengan
baik. Namun sayangnya kerapkali pers mahasiswa tidak memiliki kekuatan sebesar
perusahaan pers professional yang memiliki perlindungan dari Undang-undang Nomor
40 Tahun 1999 tentang Pers.
Fakta Lapangan
Data yang didapat
oleh Asosiasi Jurnalistik Indonesia melalui Laporan World Press Freedom Index
2025 yang dirilis Reporters Without Borders (RSF) menyatakan bahwa indeks
kebebasan Pers di Indonesia turun ke peringkat 124 dari 180 negara. Berbagai
kasus kekerasan banyak terjadi terhadap jurnalis professional di daerah,
termasuk kekerasan ini juga menimpa kepada para mahasiswa yang merupakan
kalangan persma.
Kritik yang
dilayangkan oleh para pers mahasiswa nampaknya justru menjadi bumerang bagi pers
mahasiswa itu sendiri, terutama jika pers mahasiswa tengah berhadapan dengan
pihak kampus. Anacamannya beragam mulai dari intimidasi, pemanggilan pihak
keamanan, hingga ancaman drop out. Fenomena ini menunjukkan adanya
ambivalensi antara nilai ideal kebebasan
berpendapat dan realitas represif yang dialami di lapangan.
Pada tahun 2025 terjadi aksi represifitas terhadap salah satu LPM di Indonesia ketika sedang meliput aksi demonstrasi di Solo. Berita ini berkembang secara masif dalam jejaring internet, korban mengalami berbagai intimidasi dan pengacaman oleh oknum keamanan walaupun sudah memberitahukan identiras dirinya yang merupakan seorang pers kampus.
Keberlanjutan Jurnalisme Kampus
Lembaga pers
mahasiswa merupakan bagian penting dari keberlanjutan jurnalisme yang
berkualitas. Upaya telah dilakukan oleh berbagai pihak termasuk Asosiasi
Jurnalis Indonesia (AJI) bersama Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tentang Penguatan dan Perlindungan Aktivitas
Jurnalistik Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Persma berperan
penting dalam stabilitas kehidupan kampus dengan peliputan beserta produk
jurnalistik kampusnya agar menjadi kontrol sosial dan upaya analitis kritis.
Selain itu pers kampus juga berperan dalam memerangi disinformasi dan
meningkatkan kesadaran terhadap para mahasiswa di perguruan tinggi.
Dengan berbagai
resiko yang didapat oleh persma, sangat diperlukan paying hukum yang kuat agar
keberlanjutan LPM dapat berjalan, hal ini dibarengi oleh peningkatan kompetensi
para anggota pers mahasiswa dalam berbagai bidang, terutama pemanfaatan
Artificial Intelligence (AI).
Undang-undang KUHAP Terhadap Keberlanjutan Pers
Mahasiswa
Pernyataan terbaru
oleh Presidium Kaukus Indonesia untuk Kepentingan Akademik atau yang lebih akrab
disebut KIKA mengatakan bahwa proses pembahasan RUU KUHAP yang dikebut dan
mengandung substansi pasal bermasalah dalam pengesahannya akan berpotensi
mengancam kebebasan akademik di tanah air.
Pasal 105, 112A,
132, dan 124 memungkinkan adanya penggeledahan, penyitaan, pemblokiran, hingga
penyadapan tanpa izin pengadilan yang berpotensi mengganggu kebebasan akademik.
Dengan belum
adanya perlindungan yang kuat terhadap Lembaga Pers Mahasiswa, Undang-undang
KUHAP ini akan dengan mudah menjaring para pers kampus yang bersuara lantang
terhadap isu-isu sosial, politik, dan hukum. Kejadian pembredelan juga dapat
dilakukan dengan mudah oleh perguruan tinggi itu sendiri terhadap para
mahasiswanya ketika berpendapat dan melakukan analisis (diskusi) mengenai
kasus-kasus yang menurut pihak kampus dapat mencederai almamater kampus.
Penulis: Novandi
Ali Akbar
Editor: Fahmi Rahmatan Akbar, Muhamad Saepul Saputra


0 Komentar