Ticker

6/recent/ticker-posts

Fomo, Eksistensi, dan Makna Apresiasi Diri


Ilustrasi: AI

Belakangan ini, muncul sebuah fenomena di media sosial di mana terdapat akun yang kerap mengunggah foto-foto mahasiswi UIN Saizu dengan menonjolkan sisi kecantikan mereka. Banyak yang menganggap akun seperti ini hanya sebatas hiburan dan ajang apresiasi. Namun, bagi saya fenomena ini justru memunculkan rasa tidak nyaman. Bukan karena menampilkan kecantikan itu salah, tetapi karena cara pengemasan dan tujuan di baliknya kurang tepat. Ada pertanyaan yang muncul di benak saya: Apakah benar tujuannya sebatas hiburan semata? Atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya? Dan apakah benar perlu membuat ruang digital yang menjadikan wajah mahasiswi sebagai bahan tontonan publik?

Menurut saya, fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial mengubah cara kita mencari pengakuan. Kini rasa percaya diri seolah diukur dari seberapa banyak orang yang melihat, menyukai, dan membicarakan kita. Tidak ada yang salah dengan ingin terlihat, tapi ketika itu menjadi kebutuhan, justru menggerus makna apresiasi diri yang sebenarnya. Saya merasa, semakin banyak orang yang ikut tren ini, semakin tipis pula batas antara ekspresi diri dan ajang pamer.

Saya juga tidak menutup mata bahwa sebagian orang mungkin hanya ingin tampil dan merasa dihargai, itu wajar. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika ruang publik digital berubah untuk menonjolkan penampilan semata. Padahal, kampus seharusnya menjadi ruang untuk tumbuh dan berkembang lewat karya serta prestasi. Rasanya sayang kalau potensi mahasiswa hanya diingat karena penampilannya, bukan karena gagasannya.

Yang membuat saya cukup khawatir, tren seperti ini bisa membuka ruang komentar yang tidak pantas. Walaupun yang diunggah adalah foto sendiri, bukan berarti semua orang akan menanggapinya dengan cara yang sopan. Kita tahu bersama, media sosial belum sepenuhnya menjadi ruang yang aman, terutama bagi perempuan. Maka dari itu, saya merasa penting untuk menahan diri dan berpikir dua kali sebelum mengunggah sesuatu yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.

Saya bukan bermaksud melarang siapa pun mengekspresikan diri. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk merasa percaya diri dan dihargai. Hanya saja, saya berharap ekspresi itu diiringi dengan kesadaran bahwa tidak semua hal perlu ditampilkan. Apresiasi terhadap diri tidak harus datang dari kamera dan layar, terkadang justru terasa lebih bermakna ketika datang dari proses, usaha, dan pencapaian yang kita raih.

Menurut saya, lebih baik kalau ruang digital diisi dengan hal-hal yang bisa menjadi inspirasi. Misalnya, lebih banyak lagi unggahan tentang mahasiswa yang berprestasi, ikut kegiatan sosial, menulis, atau berkarya di bidangnya masing-masing. Hal-hal seperti itu juga bisa viral, tetapi dengan cara yang lebih sehat dan bermakna. Saya percaya, kecantikan sejati seseorang bukan terletak pada tampilan luarnya saja, melainkan pada apa yang ia berikan untuk lingkungannya.

Selain itu, saya merasa fenomena ini juga menggambarkan keresahan generasi muda terhadap rasa takut tertinggal. Budaya “fomo” membuat kita khawatir jika tidak ikut tren, kita akan dianggap tidak gaul atau kurang eksis. Padahal, menjadi berbeda bukanlah kesalahan. Tidak ikut tren bukan berarti tidak berani, tapi bisa jadi tanda bahwa kita tahu batas dan punya arah sendiri.

Ilustrasi: AI

Saya berharap mahasiswa bisa mulai lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Kita tidak harus menolak teknologi, tapi perlu belajar untuk mengendalikannya agar tidak justru mengendalikan kita. Setiap unggahan mencerminkan cara berpikir dan nilai yang kita pegang. Kalau kita ingin dihargai sebagai generasi berpendidikan, maka cara kita bermedia juga seharusnya menunjukkan kedewasaan itu.

Kampus adalah tempat untuk belajar, bukan sekadar latar belakang konten. Di sinilah seharusnya nilai-nilai intelektual tumbuh, termasuk dalam hal bagaimana kita menggunakan media sosial. Saya ingin melihat lingkungan kampus yang dikenal karena prestasi dan kreativitas, bukan karena tren yang datang dan pergi. Kita semua bisa berperan dengan cara sederhana, tidak ikut-ikutan, tidak merendahkan, dan tetap menghargai diri sendiri serta orang lain.

Pada akhirnya, saya percaya setiap perempuan itu cantik dengan caranya masing-masing. Tapi kecantikan tidak seharusnya dijadikan alat pembuktian, apalagi untuk bersaing dalam perhatian publik. Dunia sudah cukup ramai dengan penampilan, sekarang saatnya kita ramai dengan karya. Karena pada akhirnya, yang membuat seseorang menarik bukan seberapa sering ia tampil, tetapi seberapa banyak kebaikan dan manfaat yang ia tinggalkan.

Penulis: Alifia Syifaunnabila

Editor: Fahmi Rahmatan Akbar, Muhamad Saepul Saputra

Posting Komentar

0 Komentar