
Belakangan ini, muncul sebuah fenomena di media sosial di
mana terdapat akun yang kerap mengunggah foto-foto mahasiswi UIN Saizu dengan
menonjolkan sisi kecantikan mereka. Banyak yang menganggap akun seperti ini
hanya sebatas hiburan dan ajang apresiasi. Namun, bagi saya fenomena ini justru
memunculkan rasa tidak nyaman. Bukan karena menampilkan kecantikan itu salah,
tetapi karena cara pengemasan dan tujuan di baliknya kurang tepat. Ada
pertanyaan yang muncul di benak saya: Apakah benar tujuannya sebatas hiburan
semata? Atau ada sesuatu yang lebih dalam di
baliknya? Dan apakah benar perlu membuat ruang digital yang menjadikan wajah
mahasiswi sebagai bahan tontonan publik?
Menurut saya, fenomena ini menunjukkan bagaimana media
sosial mengubah cara kita mencari pengakuan. Kini rasa percaya diri seolah
diukur dari seberapa banyak orang yang melihat, menyukai, dan membicarakan
kita. Tidak ada yang salah dengan ingin terlihat, tapi ketika itu menjadi
kebutuhan, justru menggerus makna apresiasi diri yang sebenarnya. Saya merasa,
semakin banyak orang yang ikut tren ini, semakin tipis pula batas antara
ekspresi diri dan ajang pamer.
Saya juga tidak menutup mata bahwa sebagian orang mungkin
hanya ingin tampil dan merasa dihargai, itu wajar. Namun, yang menjadi
persoalan adalah ketika ruang publik digital berubah untuk menonjolkan
penampilan semata. Padahal, kampus seharusnya menjadi ruang untuk tumbuh dan
berkembang lewat karya serta prestasi. Rasanya sayang kalau potensi mahasiswa
hanya diingat karena penampilannya, bukan karena gagasannya.
Yang
membuat saya cukup khawatir, tren seperti ini bisa membuka ruang komentar yang
tidak pantas. Walaupun yang diunggah adalah foto sendiri, bukan berarti semua
orang akan menanggapinya dengan cara yang sopan. Kita tahu bersama, media sosial belum sepenuhnya menjadi
ruang yang aman, terutama bagi perempuan. Maka dari itu, saya merasa penting
untuk menahan diri dan berpikir dua kali sebelum mengunggah sesuatu yang bisa
menimbulkan kesalahpahaman.
Saya bukan bermaksud melarang siapa pun mengekspresikan
diri. Setiap orang punya caranya masing-masing
untuk merasa percaya diri dan dihargai. Hanya saja, saya berharap ekspresi itu
diiringi dengan kesadaran bahwa tidak semua hal perlu ditampilkan. Apresiasi
terhadap diri tidak harus datang dari kamera dan layar, terkadang justru terasa
lebih bermakna ketika datang dari proses, usaha, dan pencapaian yang kita raih.
Menurut
saya, lebih baik kalau ruang digital diisi dengan hal-hal yang bisa menjadi
inspirasi. Misalnya, lebih banyak lagi unggahan tentang mahasiswa yang
berprestasi, ikut kegiatan sosial, menulis, atau berkarya di bidangnya
masing-masing. Hal-hal seperti itu juga bisa viral, tetapi dengan cara yang
lebih sehat dan bermakna. Saya
percaya, kecantikan sejati seseorang bukan terletak pada tampilan luarnya saja,
melainkan pada apa yang ia berikan untuk lingkungannya.
Selain itu, saya merasa fenomena ini juga menggambarkan keresahan generasi muda terhadap rasa takut tertinggal. Budaya “fomo” membuat kita khawatir jika tidak ikut tren, kita akan dianggap tidak gaul atau kurang eksis. Padahal, menjadi berbeda bukanlah kesalahan. Tidak ikut tren bukan berarti tidak berani, tapi bisa jadi tanda bahwa kita tahu batas dan punya arah sendiri.
Saya berharap mahasiswa bisa mulai lebih bijak dalam
menggunakan media sosial. Kita tidak harus menolak teknologi, tapi perlu
belajar untuk mengendalikannya agar tidak justru mengendalikan kita. Setiap
unggahan mencerminkan cara berpikir dan nilai yang kita pegang. Kalau kita
ingin dihargai sebagai generasi berpendidikan, maka cara kita bermedia juga
seharusnya menunjukkan kedewasaan itu.
Kampus adalah tempat untuk belajar, bukan sekadar latar
belakang konten. Di sinilah seharusnya nilai-nilai intelektual tumbuh, termasuk
dalam hal bagaimana kita menggunakan media sosial. Saya ingin melihat
lingkungan kampus yang dikenal karena prestasi dan kreativitas, bukan karena
tren yang datang dan pergi. Kita semua bisa berperan dengan cara sederhana,
tidak ikut-ikutan, tidak merendahkan, dan tetap menghargai diri sendiri serta
orang lain.
Pada
akhirnya, saya percaya setiap perempuan itu cantik dengan caranya
masing-masing. Tapi kecantikan tidak seharusnya dijadikan alat pembuktian,
apalagi untuk bersaing dalam perhatian publik. Dunia sudah cukup ramai dengan
penampilan, sekarang saatnya kita ramai dengan karya. Karena pada akhirnya, yang membuat seseorang menarik
bukan seberapa sering ia tampil, tetapi seberapa banyak kebaikan dan manfaat
yang ia tinggalkan.
Penulis: Alifia Syifaunnabila
Editor: Fahmi Rahmatan Akbar, Muhamad Saepul Saputra

0 Komentar