![]() |
/koshball.blogspot.co.id |
Ditengah-tengah
kota Jakarta, disudut tiang lampu merah yang gelap tanpa adanya penerangan.
Terlihat sesosok lelaki paruh baya tengah duduk, ia ditemani sebuah mangkuk
kecil. Kian larut makin samar terlihat hingga lampu kendaraan yang simpang siur
di depannya sewaktu-waktu menyorotinya. Terlihat jelas bagaimana dia
menggoyangkan mangkuk yang berisi beberapa uang pecahan lima ratusan hingga
suaranya mengalihkan perhatian setiap orang yang berlalu dihadapannya. Beberapa
orang iba terhadapnya. Namun tak banyak juga orang yg mengacuhkannya bahkan mencacinya.
Kencring...kencring....
Dua buah uang
lima ratusan dan satu lembar uang ribuan dilempar ke arahnya. Dengan segera
lelaki itu memungutnya sebelum angin malam membawanya pergi.
Malam yang
semakin larut, angin yang kian terasa dingin tak melemahkan semangatnya hingga
ia dapat membawa pulang makanan untuk kedua anaknya.
“satu..dua..tiga...”
dengan teliti dia mulai menghitung uang yg dia kumpulkan hari ini.
“Alhamdulillah”
gumamnya
Segeralah ia
membereskan barang-barangnya dan pulang dengan membawa beberapa uang yang tak
seberapa jumlahnya. Tono namanya, lelaki tua yang kini menginjak kepala lima
ini hidup dengan mengandalkan penghasilannya dari mengemis setiap harinya.
“Hidup di Jakarta
itu keras” kata beberapa tetangga Tono di kampung tempat tinggalnya dulu sebelum
ia memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan mencari pekerjaan di kota yang tak
pernah jauh dari kata macet ini. Tak bisa dihindari, takdir yang kini harus
menjadikannya hidup serba kekurangan.
Bukan kekurangan malah, bahkan kata melarat pun pantas ia sandang.
Sampah menjadi
pemandangan yang mau tak mau harus Tono lihat setiap harinya. Bahkan menjadi
sahabat dan hiasan pekarangan rumah Tono. Diambang pintu rumah Tono, tampak dua
anak kecil tengah mondar-mandir sambil memegangi perut mereka. Tono mempercepat
langkahnya dan menghampiri ke dua anak itu. Mereka tampak bahagia dan langsung
menyambar kresek yang dibawa Tono. Senyum sedih tampak samar terlihat di wajah
Tono yang berusaha untuk disembunyikannya, berharap kedua anaknya tidak
melihat.
***
Fajar keluar
dari peraduannya. Ayam berkokok memecah keheningan pagi. Sulit dirasa, namun
malam benar-benar cepat berlalu. Dengan segera Tono bergegas pergi ke kota
sebelum rezekinya hari ini di patok ayam begitulah kata pepatah.
Dengan modal mangkok Tono berjalan menyusuri trotoar dan berhenti di setiap lampu merah atau persimpangan.
Dengan modal mangkok Tono berjalan menyusuri trotoar dan berhenti di setiap lampu merah atau persimpangan.
“matur suwun”
ucap Tono sesekali pada orang-orang yang dengan ikhlas menyisihkan sebagian
hartanya. Dalam benak Tono, pekerjaan ini bukanlah sesuatu yang ia harapkan.
Kepindahannya ke Jakarta dengan alasan ingin memperbaiki taraf ekonomi
keluarganya.
Tak seperti di kampung dulu yang hanya mengandalkan upah dari orang-orang yang mempercayainya untuk mengurus kebun atau sawah, itupun jarang dan hasilnya tak seberapa. Tono menjual rumahnya di kampung dan pindah ke Jakarta bersama istri dan kedua anaknya. Alih-alih memperbaiki taraf ekonomi justru membuatnya semakin buruk. Istrinya kabur karena tak tahan dengan keadaannya yang semakin melarat. Kontrakan yang semula ditempatinya kini tak bisa lagi ia tempati karena pembayaran yang kurang lancar dan nunggak beberapa bulan.
Ia sudah berusaha mencari pekerjaan kesana kemari namun semuanya nihil, tak ada satupun yang tertarik dengan keahliannya. Kini ia tinggal di sebuah gubuk tua di dekat sungai Ciliwung yang penuh dengan sampah. Tak heran jika setiap kali hujan mengguyur Jakarta, air Ciliwung meluap bahkan sampai ke gubuknya. Tono masih bersyukur gubuknya tidak hancur akibat serangan banjir yang kian menjadi sorotan publik.
Tak seperti di kampung dulu yang hanya mengandalkan upah dari orang-orang yang mempercayainya untuk mengurus kebun atau sawah, itupun jarang dan hasilnya tak seberapa. Tono menjual rumahnya di kampung dan pindah ke Jakarta bersama istri dan kedua anaknya. Alih-alih memperbaiki taraf ekonomi justru membuatnya semakin buruk. Istrinya kabur karena tak tahan dengan keadaannya yang semakin melarat. Kontrakan yang semula ditempatinya kini tak bisa lagi ia tempati karena pembayaran yang kurang lancar dan nunggak beberapa bulan.
Ia sudah berusaha mencari pekerjaan kesana kemari namun semuanya nihil, tak ada satupun yang tertarik dengan keahliannya. Kini ia tinggal di sebuah gubuk tua di dekat sungai Ciliwung yang penuh dengan sampah. Tak heran jika setiap kali hujan mengguyur Jakarta, air Ciliwung meluap bahkan sampai ke gubuknya. Tono masih bersyukur gubuknya tidak hancur akibat serangan banjir yang kian menjadi sorotan publik.
Seperti
biasanya, Tono kini terduduk disamping lampu merah dengan menggoyangkan mangkuk
yang berisi beberapa uang recehan. Berbeda dengan kemarin, hari ini banyak
sekali orang yang melemparkan uang ke arahnya. Baru setengah haripun ia sudah mendapatkan uang
yang lebih banyak dari yang kemarin ia dapatkan.
”Nasib untung”
gumamnya sambil menyimpulkan senyum di bibirnya. Bukan senyum tamak, tapi senyum dengan penuh
rasa syukur atas rizki yang ia peroleh hari ini. Namun sesuatu terlintas
dipikirannya. Sambil memandangi uang diatas mangkuk ia meratap, alangkah
hinanya ia sampai harus menjadi parasit negeri hanya untuk sesuap nasi. Matanya
menatap jauh namun tak bertuju, hingga orang yang melempar uang ke arahnya pun
tak dihiraukan. Pikirannya terbawa jauh, sampai terbersit masa depan anaknya jika ia meninggal nanti.
Mengingat umurnya yang semakin hari semakin berkurang. Namun apalah daya, biar
takdir yang menjawab. Mungkin ia akan menitipkan kedua anaknya ke panti asuhan
hingga mereka mendapat orangtua asuh yang mampu membiayai hidup mereka, tidak
seperti Tono. Suara klakson membangunkan Tono dari renungannya. Ia tersadar
kembali setelah beberapa menit terbawa ke alam angannya.
Jalanan makin
siang makin ramai. Pejalan kaki pun kian padat memenuhi trotoar. Sebuah Sedan
dengan kecepatan tinggi melaju kencang dari arah utara. Kecepatannya hingga
membelah jalanan jakarta yang padat. Seseorang yang tengah menyebrang hampir
menjadi korban keganasan mobil. Kejadian itupun menjadi pusat perhatian
masyarakat yang melihatnya. Beberapa polisi ikut terjun untuk mengamankan,
takut-takut terjadi insiden saling pukul dari teman korban terhadap pelaku.
Tono yang saat itu melihatnya ikut mengerumuni korban. Tak ada darah yang
tumpah dari peristiwa itu. Hanya saja mobil yang dikendarai pelaku hancur
bagian depannya karena menabrak tiang pembatas jalan. Tono hanya bisa
menggeleng kepala melihat kejadian itu. Ia kembali ke trotoar sebelum banyak
orang yang memperhatikannya.
Hari yang
semakin larut mengharuskannya untuk menghentikan kerjanya. Tak lupa nasi uduk
slalu dibawanya sebagai buah tangan untuk kedua anaknya. Saat Tono menyusuri
jalan menuju rumahnya, tak sengaja ia mendengar suara tangisan. Dengan penuh
penasaran akhirnya tono memutuskan untuk mencari sumber suara itu. Suara yang
begitu familiar di telinganya. Ternyata suara tangisan itu berasal dari
gubuknya sendiri. seketika Ia menghentikan langkah. Sungguh kagetnya saat ia melihat
gubuk yang di tempatinya hancur. Tak terasa air mata lelaki paruh baya itu
tumpah. Dengan segera Tono melihat sekeliling mencari kedua anakya. Ternyata
suara tangisan itu berasal dari kedua anak Tono yang sedang menangis di
sudut-sudut tiang yang roboh, perlahan Tono mendekati.
“Apa yang
terjadi nak?” ucap tono sambil memeluk kedua anaknya.
“Bapaaaaaaak...”
suara tangisan itu semakin kencang sampai-sampai mengundang perhatian
tetangganya. Seorang tetangga tampak menghampirinya. Dia menceritakan awal mula
terjadinya penggusuran ini. Ternyata gubuk yang di tempati Tono itu ada
pemiliknya. Pemiliknya menyuruh beberapa orang untuk menghancurkannya karena
lahannya akan dipakai untuk pembuatan pabrik. Begitulah keterangan beberapa
tetangga yang melihat kejadian itu.
“Besok si pemilik tanah ini
akan datang kesini, kau tunggu saja” seseorang memberikan keterangan.
“Untuk malam
ini kau tinggal saja di gubuknya Pak Harto. Kasian anak-anakmu. Kalau kau mau
biar ku antar” ajak seorang tetangga yang Tono pun tak mengetahui siapa
namanya.
Ia pun akhirnya memenuhi ajakan tetangganya. Diantarkannya Tono dan kedua anaknya ke gubuk Pak Harto yang sebelumnya sudah meminta izin terlebih dahulu kepada si pemilik.
Ia pun akhirnya memenuhi ajakan tetangganya. Diantarkannya Tono dan kedua anaknya ke gubuk Pak Harto yang sebelumnya sudah meminta izin terlebih dahulu kepada si pemilik.
”Gudang beras
awalnya, tapi Pak Harto sekarang sudah tidak menggunakannya karena beralih
profesi jadi bos bakso. Kalau kau mau pakai saja untuk tempat tinggalmu
sementara.” Ucap tetangganya menjelaskan sebelum ia pergi meninggalkan Tono dan
kedua anaknya di gubuk itu.
Malam semakin larut, rasa kantuk mulai menggerogoti Tono. Akhirnya ia tertidur di atas amparan tikar yang sedikit termakan rayap dan membiarkan kedua anaknya tidur di atas ranjang walau agak reyod karena kayunya sudah mulai lapuk. Malam yang terasa singkat namun mereka tertidur cukup pulas dan melupakan kejadian yang telah mereka lalui untuk sejenak.
Malam semakin larut, rasa kantuk mulai menggerogoti Tono. Akhirnya ia tertidur di atas amparan tikar yang sedikit termakan rayap dan membiarkan kedua anaknya tidur di atas ranjang walau agak reyod karena kayunya sudah mulai lapuk. Malam yang terasa singkat namun mereka tertidur cukup pulas dan melupakan kejadian yang telah mereka lalui untuk sejenak.
Setelah
disadari hadirnya pagi, Tono bergegas mengambil uang yang disimpannya di
kantong celana yang tergantung di dinding yang kemudian ditukarkan dengan dua
bungkus nasi untuk makan kedua anaknya. Setelah sampai kembali di gubuk
tersebut, Tono membangunkan kedua anaknya kemudian pergi ke kota untuk bekerja
dan meninggalkan kedua anaknya.
Angin berhembus
meniupkan baliho-baliho iklan di sepanjang jalan Jakarta. Tono bukanlah seorang
yang buta huruf, sesekali ia membaca isi dari iklan tersebut. Langkah Tono
membawanya ke suatu tempat dimana banyak orang yang bernasib sama sepertinya.
Sekelompok pengemis di ujung jalan buntu tengah berkumpul dan menyantap nasi
bungkus. Tono ingin menyapa namun siang hampir
memanggilnya sehingga ia harus bergegas pergi ke trotoar di dekat lampu
merah.
Matahari
benar-benar berada diatas kepala dan Tono mulai lelah. Akhirnya ia memutuskan
untuk kembali. Jalan yang dilalui sama seperti saat dia berangkat tadi. Masih
dalam suasana yang sama, di ujung jalan buntu ada segerombol pengemis. Kali ini
yang dibawanya bukan lagi sebungkus nasi namun kaleng berisi uang yang tengah dihitung para pengemis. Kali ini Tono
menghampiri dan menyapa teman se-profesinya. Belum sempat menyapa, Polisi
datang mengepung tempat tersebut sehingga semuanya panik termasuk Tono.
Ternyata pengemis tersebut merupakan pengemis suruhan. Tono berusaha melarikan
diri namun apalah daya ia hanya bisa pasrah. Semua pengemis tadi termasuk Tono
dibawa ke kantor polisi untuk di proses. Akhirnya Tono beserta pengemis lain di
tahan. Pikiran Tono tertuju kepada kedua anaknya. Entah bagaimana keadaan mereka
sekarang, Tono hanya bisa meratap disertai air mata yang mengalir deras.
Suatu pekerjaan
yang tak baik pada ujungnya berakhir tak baik pula. Sudah jatuh dengan keadaan
Tono yang melarat, tertimpan tangga pula dengan masuknya ia ke tahanan beserta
anaknya yang terlantar entah dengan siapa.
Penulis : Sri Roijah, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) semester 4 IAIN Purwokerto
Penulis : Sri Roijah, Mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) semester 4 IAIN Purwokerto
0 Komentar