Di balik setiap kasus kekerasan
seksual yang mencuat ke publik, sering kali muncul dalih klasik yang terus
diulang, “mereka sama-sama mau.” Kalimat ini seakan menjadi perisai yang
dipakai oleh pelaku dan pembelanya untuk meniadakan kenyataan yang jauh lebih
kompleks dan menyakitkan. Dalih “suka sama suka” bukan hanya simplifikasi,
tetapi juga bentuk pengaburan terhadap akar persoalan kekerasan seksual yang
sesungguhnya, yakni “ketimpangan relasi kuasa“.
Ketimpangan relasi kuasa adalah
kondisi ketika kekuasaan dalam suatu hubungan sangat tidak seimbang, sehingga
satu pihak mendominasi dan pihak lain menjadi subordinat (tertekan, tidak punya
kontrol, atau tereksploitasi). Ketimpangan relasi kuasa terjadi ketika satu
pihak memiliki kontrol lebih besar, baik secara struktural, ekonomi, sosial,
hingga psikologis, atas pihak lain. Dalam ruang akademik, kampus, tempat kerja,
hingga keluarga, ketimpangan ini kerap melahirkan relasi yang tidak setara.
Ketika seorang dosen menjalin “hubungan” dengan mahasiswanya, seorang atasan
dengan bawahannya, atau seorang senior dengan juniornya, maka kita wajib
bertanya, “Adakah ruang untuk benar-benar berkata ‘tidak‘ tanpa takut
kehilangan nilai, posisi, atau rasa aman?“
Hukum Indonesia telah menyadari
bahaya laten dari relasi kuasa ini. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang
Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberikan kerangka hukum yang jelas
tentang bagaimana kekerasan seksual dapat terjadi karena ketimpangan relasi
kuasa yang dapat memaksa korban untuk “menyetujui” sesuatu yang sebenarnya
mereka tidak benar-benar inginkan. Pasal 6 huruf c menyatakan, “Setiap Orang
yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul
dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan,
ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan
menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan
atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).“ Pasal ini mengatur kekerasan
seksual yang dilakukan dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, atau
kepercayaan. Ini berarti, hubungan antara pelaku dan korban yang didasari
ketimpangan relasi kuasa yang disalahgunakan, seperti atasan dan bawahan, dosen
dan mahasiswa, guru dan murid menjadikan apa yang tampak sebagai “persetujuan”
sesungguhnya adalah hasil dari tekanan psikologis, manipulasi, dan ketakutan.
Ketimpangan relasi kuasa sangat rentan dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan
tindakan seksual yang seolah-olah “disetujui” oleh korban. Padahal, persetujuan
itu muncul karena tekanan situasi, bukan karena kehendak bebas.
Masalah utama bukan sekadar pada
ada tidaknya persetujuan, tetapi pada bagaimana persetujuan itu terjadi.
Dalam relasi yang tidak setara seperti dosen dan mahasiswi, atasan dan pegawai,
guru dan siswa, persetujuan sering kali tidak lahir dari kebebasan, melainkan
dari ketakutan, tekanan, atau rasa sungkan. Korban mungkin tampak setuju secara
lahiriah, tapi apakah benar ia memiliki kuasa penuh atas pilihan itu? Ketika
seseorang merasa terpaksa menyetujui demi nilai, posisi kerja, atau sekadar
menghindari intimidasi, maka yang terjadi bukanlah hubungan suka sama suka,
melainkan manipulasi seksual dalam relasi kuasa.
Dalam banyak kasus, korban merasa
terpaksa menyetujui tindakan seksual karena merasa tidak punya pilihan lain.
Bahkan ketika tidak ada ancaman secara eksplisit yang dikeluarkan, tekanan yang
muncul dari relasi kuasa yang timpang sudah cukup untuk mengikis otonomi
korban. Pada titik ini, “persetujuan” bukan lagi hasil dari kehendak korban,
melainkan produk dari tekanan sistemik yang tak kasatmata.
Dalam laporan Catatan Tahunan
(CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan Tahun 2024 mencatat,
bahwa karakteristik kekerasan seksual pada tingkat pendidikan memperlihatkan
bahwa korban dan pelaku/terlapor yang terbanyak adalah pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah dengan catatan paling banyak adalah berpendidikan
SMA/sederajat dengan usia dan pendidikan pelaku/terlapor lebih tinggi/lebih tua
daripada korban/pelapor, yang menunjukkan bahwa relasi kuasa masih sangat
mewarnai kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP). (https://komnasperempuan.go.id/).
Di kampus, bentuk kekerasan
seksual kerap dibungkus dalam relasi yang kelihatannya "romantis"
namun sesungguhnya problematik karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara
pelaku dan korban. Ketika korban akhirnya melapor, dalih “kami saling suka”
menjadi senjata balik untuk menyalahkan korban. Akibatnya, korban tidak hanya
kehilangan rasa aman, tetapi juga harga diri, reputasi, bahkan psikologisnya
yang terancam.
Inilah mengapa penting untuk
menyorot kembali makna dari persetujuan (consent) dalam konteks relasi
kuasa. Persetujuan sejati hanya mungkin hadir dalam kondisi setara. Ketika ada
tekanan, manipulasi, atau relasi hierarkis, maka consent menjadi cacat
sejak awal.
Namun, hingga saat ini, budaya
menyalahkan korban (victim blaming) dan dalih “suka sama suka” terus
direproduksi sebagai argumentasi pelaku dan pembelanya. Narasi ini bukan hanya
membungkam korban, tetapi juga memperpanjang impunitas pelaku. Ketika seorang
dosen yang bersalah dibiarkan bebas karena dalih hubungan “suka sama suka,”
maka pesan yang kita kirimkan adalah bahwa sistem tidak berpihak pada keadilan,
melainkan pada kekuasaan.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)
Obsesi menilai, perlu ada perubahan mendasar dalam cara kampus dan masyarakat
merespons kekerasan seksual. Pertama, penting untuk mengedepankan pendekatan yang berpihak
pada korban (victim centered approach) dalam setiap penanganan kasus. Kedua,
perlu dilakukan edukasi mendalam tentang ketimpangan relasi kuasa dalam
kekerasan seksual, bukan sekadar edukasi seksualitas. Ketiga, semua
institusi, termasuk kampus, harus memiliki regulasi yang tegas dan prosedur
yang jelas dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus, serta
lembaga aduan yang independent, mudah diakses dan aman bagi korban.
Kita tidak bisa lagi membiarkan
dalih “suka sama suka” menjadi tameng kekerasan. Sebab kekerasan seksual bukan
sekadar persoalan tubuh, tetapi persoalan kuasa, kendali, dan dominasi. Menutup
mata atas ketimpangan relasi kuasa sama saja dengan menjadi bagian dari kekerasan
itu sendiri.
Apa yang perlu kita suarakan hari
ini adalah, suka sama suka tidak bisa menjadi alasan pembenar dalam konteks
ketimpangan relasi kuasa. Persetujuan hanya sah bila diberikan dalam kondisi sadar,
bebas dari tekanan, dan tanpa manipulasi. Hubungan yang didasarkan pada rasa
takut, harapan tersembunyi, atau tekanan status sosial bukanlah cinta, itu
adalah bentuk eksploitasi.
Suara korban bukan untuk diragukan, melainkan untuk didengarkan dan diperjuangkan. Sudah waktunya kita membongkar ilusi yang menutupi luka.
Redaksi
0 Komentar