Ticker

6/recent/ticker-posts

Dalih Suka Sama Suka: Membongkar Kepalsuan Persetujuan dalam Relasi Kuasa

 

(Dok; Ilustrator by Abdurahman Al Labib)

Di balik setiap kasus kekerasan seksual yang mencuat ke publik, sering kali muncul dalih klasik yang terus diulang, “mereka sama-sama mau.” Kalimat ini seakan menjadi perisai yang dipakai oleh pelaku dan pembelanya untuk meniadakan kenyataan yang jauh lebih kompleks dan menyakitkan. Dalih “suka sama suka” bukan hanya simplifikasi, tetapi juga bentuk pengaburan terhadap akar persoalan kekerasan seksual yang sesungguhnya, yakni “ketimpangan relasi kuasa“.

Ketimpangan relasi kuasa adalah kondisi ketika kekuasaan dalam suatu hubungan sangat tidak seimbang, sehingga satu pihak mendominasi dan pihak lain menjadi subordinat (tertekan, tidak punya kontrol, atau tereksploitasi). Ketimpangan relasi kuasa terjadi ketika satu pihak memiliki kontrol lebih besar, baik secara struktural, ekonomi, sosial, hingga psikologis, atas pihak lain. Dalam ruang akademik, kampus, tempat kerja, hingga keluarga, ketimpangan ini kerap melahirkan relasi yang tidak setara. Ketika seorang dosen menjalin “hubungan” dengan mahasiswanya, seorang atasan dengan bawahannya, atau seorang senior dengan juniornya, maka kita wajib bertanya, “Adakah ruang untuk benar-benar berkata ‘tidak‘ tanpa takut kehilangan nilai, posisi, atau rasa aman?“

Hukum Indonesia telah menyadari bahaya laten dari relasi kuasa ini. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberikan kerangka hukum yang jelas tentang bagaimana kekerasan seksual dapat terjadi karena ketimpangan relasi kuasa yang dapat memaksa korban untuk “menyetujui” sesuatu yang sebenarnya mereka tidak benar-benar inginkan. Pasal 6 huruf c menyatakan, “Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).“ Pasal ini mengatur kekerasan seksual yang dilakukan dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, atau kepercayaan. Ini berarti, hubungan antara pelaku dan korban yang didasari ketimpangan relasi kuasa yang disalahgunakan, seperti atasan dan bawahan, dosen dan mahasiswa, guru dan murid menjadikan apa yang tampak sebagai “persetujuan” sesungguhnya adalah hasil dari tekanan psikologis, manipulasi, dan ketakutan. Ketimpangan relasi kuasa sangat rentan dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan tindakan seksual yang seolah-olah “disetujui” oleh korban. Padahal, persetujuan itu muncul karena tekanan situasi, bukan karena kehendak bebas.

Masalah utama bukan sekadar pada ada tidaknya persetujuan, tetapi pada bagaimana persetujuan itu terjadi. Dalam relasi yang tidak setara seperti dosen dan mahasiswi, atasan dan pegawai, guru dan siswa, persetujuan sering kali tidak lahir dari kebebasan, melainkan dari ketakutan, tekanan, atau rasa sungkan. Korban mungkin tampak setuju secara lahiriah, tapi apakah benar ia memiliki kuasa penuh atas pilihan itu? Ketika seseorang merasa terpaksa menyetujui demi nilai, posisi kerja, atau sekadar menghindari intimidasi, maka yang terjadi bukanlah hubungan suka sama suka, melainkan manipulasi seksual dalam relasi kuasa.

Dalam banyak kasus, korban merasa terpaksa menyetujui tindakan seksual karena merasa tidak punya pilihan lain. Bahkan ketika tidak ada ancaman secara eksplisit yang dikeluarkan, tekanan yang muncul dari relasi kuasa yang timpang sudah cukup untuk mengikis otonomi korban. Pada titik ini, “persetujuan” bukan lagi hasil dari kehendak korban, melainkan produk dari tekanan sistemik yang tak kasatmata.

Dalam laporan Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap Perempuan Komnas Perempuan Tahun 2024 mencatat, bahwa karakteristik kekerasan seksual pada tingkat pendidikan memperlihatkan bahwa korban dan pelaku/terlapor yang terbanyak adalah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dengan catatan paling banyak adalah berpendidikan SMA/sederajat dengan usia dan pendidikan pelaku/terlapor lebih tinggi/lebih tua daripada korban/pelapor, yang menunjukkan bahwa relasi kuasa masih sangat mewarnai kekerasan berbasis gender terhadap perempuan (KBGtP). (https://komnasperempuan.go.id/).

Di kampus, bentuk kekerasan seksual kerap dibungkus dalam relasi yang kelihatannya "romantis" namun sesungguhnya problematik karena adanya ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Ketika korban akhirnya melapor, dalih “kami saling suka” menjadi senjata balik untuk menyalahkan korban. Akibatnya, korban tidak hanya kehilangan rasa aman, tetapi juga harga diri, reputasi, bahkan psikologisnya yang terancam.

Inilah mengapa penting untuk menyorot kembali makna dari persetujuan (consent) dalam konteks relasi kuasa. Persetujuan sejati hanya mungkin hadir dalam kondisi setara. Ketika ada tekanan, manipulasi, atau relasi hierarkis, maka consent menjadi cacat sejak awal.

Namun, hingga saat ini, budaya menyalahkan korban (victim blaming) dan dalih “suka sama suka” terus direproduksi sebagai argumentasi pelaku dan pembelanya. Narasi ini bukan hanya membungkam korban, tetapi juga memperpanjang impunitas pelaku. Ketika seorang dosen yang bersalah dibiarkan bebas karena dalih hubungan “suka sama suka,” maka pesan yang kita kirimkan adalah bahwa sistem tidak berpihak pada keadilan, melainkan pada kekuasaan.

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Obsesi menilai, perlu ada perubahan mendasar dalam cara kampus dan masyarakat merespons kekerasan seksual. Pertama, penting untuk mengedepankan pendekatan yang berpihak pada korban (victim centered approach) dalam setiap penanganan kasus. Kedua, perlu dilakukan edukasi mendalam tentang ketimpangan relasi kuasa dalam kekerasan seksual, bukan sekadar edukasi seksualitas. Ketiga, semua institusi, termasuk kampus, harus memiliki regulasi yang tegas dan prosedur yang jelas dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus, serta lembaga aduan yang independent, mudah diakses dan aman bagi korban.

Kita tidak bisa lagi membiarkan dalih “suka sama suka” menjadi tameng kekerasan. Sebab kekerasan seksual bukan sekadar persoalan tubuh, tetapi persoalan kuasa, kendali, dan dominasi. Menutup mata atas ketimpangan relasi kuasa sama saja dengan menjadi bagian dari kekerasan itu sendiri.

Apa yang perlu kita suarakan hari ini adalah, suka sama suka tidak bisa menjadi alasan pembenar dalam konteks ketimpangan relasi kuasa. Persetujuan hanya sah bila diberikan dalam kondisi sadar, bebas dari tekanan, dan tanpa manipulasi. Hubungan yang didasarkan pada rasa takut, harapan tersembunyi, atau tekanan status sosial bukanlah cinta, itu adalah bentuk eksploitasi.

Suara korban bukan untuk diragukan, melainkan untuk didengarkan dan diperjuangkan. Sudah waktunya kita membongkar ilusi yang menutupi luka.

Redaksi

Posting Komentar

0 Komentar