
Purwokerto - Aliansi mahasiswa sepurwokerto menggelar
aksi mimbar bebas, dalam rangka memperingati Hari Buruh Internasional di
Alun-Alun Purwokerto, pada Kamis (1/5/25). Aksi ini digelar untuk menyuarakan
aspirasi dan keprihatinan terhadap nasib buruh di Indonesia, yang dinilai masih
jauh dari kata sejahtera.
Dalam orasi yang disampaikan, peserta
aksi menyoroti persoalan ketimpangan antara upah buruh dan beban kerja yang
tinggi. “Gaji buruh tidak setara dengan biaya hidup dan jam kerja yang panjang.
Delapan jam kerja hanya dibayar lima puluh ribu, bahkan kurang,” ujar Irwan,
perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Amikom Purwokerto. Menurutnya,
kondisi ini mencerminkan ketidakadilan struktural yang semakin menekan posisi
buruh.
Selain itu, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja turut menjadi sorotan utama dalam aksi ini. Peserta aksi menyebut, bahwa regulasi tersebut lebih menguntungkan pemilik modal ketimbang memberikan perlindungan terhadap buruh. “UU Cipta Kerja seharusnya membawa kesejahteraan, tapi justru membuat buruh semakin terpinggirkan,” tambah Irwan.
Aksi dimulai dari kawasan Pusat
Kegiatan Mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (PKM Unsoed), dan bergerak
menuju Alun-Alun Purwokerto melalui pertigaan Gedung Olahraga (GOR) Satria.
Rute ini dipilih untuk menarik perhatian publik, sekaligus menunjukkan solidaritas
terhadap buruh, dengan harapan masyarakat menyadari keberadaan aksi tersebut
sebagai bentuk kepedulian terhadap hak-hak buruh yang sering terabaikan.
Sementara itu, Arga, orator dari BEM Unsoed,
menyoroti ketakutan buruh dalam menyampaikan aspirasi mereka secara langsung.
“Banyak buruh yang tidak cukup yakin untuk bersuara karena takut. Maka dari
itu, kami hadir untuk menyuarakan apa yang mereka rasakan,” ujar Arga. Ia juga
menilai bahwa banyak kebijakan saat ini lebih berpihak pada pemilik modal dan mempererat
cengkeraman sistem kapitalisme terhadap pekerja.
Arga menegaskan bahwa buruh bukanlah budak yang bisa semena-mena diambil haknya. Ia pun menyuarakan harapan, agar UU Cipta Kerja dicabut dan proses penyusunan kebijakan kedepan melibatkan masyarakat secara langsung. “Undang-undang itu akan diterapkan kepada masyarakat, maka masyarakat juga harus dilibatkan sejak proses perancangannya,” pungkasnya.
Aksi berlangsung dalam suasana damai
sejak awal, meskipun sempat diwarnai kericuhan singkat di tengah jalannya
kegiatan. Ketegangan tersebut segera mereda, dan aksi kembali berjalan dengan
tertib. Melalui orasi, puisi, dan mimbar bebas, peserta menyampaikan berbagai
bentuk keresahan dan harapan. Aksi ini juga menjadi simbol perlawanan terhadap
sistem ekonomi yang dianggap eksploitatif serta pengingat bahwa perjuangan
buruh belum selesai.
Reporter: Khofifah Fikria Cahya Arifah, Latif Ardiansyah, Parhatun Nisa, Tri Kumala Sari
Penulis: Hikmah Nur Aisyah
Editor: Fahmi Rahmatan Akbar, Muhamad Saepul Saputra
0 Komentar