( Ilustrator Oleh: Zulfan Rahma P )
Dalam sejarah politik modern Eropa, liberalisasi politik tidak pernah hadir tanpa konsekuensi ideologis yang dalam. Kebebasan yang diorkestrasi dengan dalih membebaskan manusia dari dogma agama ternyata justru mengarah pada penghapusan peran agama dari ruang publik. Dampaknya adalah ideologi antroposentrisme dan dekonstruksionisme menjadi way of life warga Eropa, sebuah kenyataan yang patut direnungkan secara kritis oleh bangsa Indonesia.
Antroposentrisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat dan nilai segala sesuatu ditentukan berdasarkan manfaatnya bagi manusia, menjadikan alam, hewan, bahkan manusia lain, dipandang hanya berharga sejauh mereka berguna bagi individu manusia. Mereka dianggap sebagai objek untuk bisa dieksploitasi atas nama kebebasan individu.
Sementara itu, dekonstruksionisme tidak menerima nilai-nilai absolut misalnya, kejujuran selalu baik, Tuhan adalah sumber kebenaran. Sebaliknya, dekonstruksionisme membongkar nilai-nilai itu dengan menunjukkan bahwa nilai-nilai tersebut dibentuk oleh bahasa, budaya, dan kekuasaan dan yang dianggap benar oleh suatu kelompok bisa jadi merupakan hasil dominasi narasi, bukan kebenaran yang sebenarnya. Karena semua makna dianggap tidak tetap dan bisa didekonstruksi serta diinterpretasi ulang, maka tidak ada standar moral, kebenaran, atau nilai yang berlaku universal, yang ini disebut dengan relativisme ekstrem.
Jika dua ideologi tersebut menjadi pola hidup bangsa Indonesia, maka bisa dipastikan bahwa nilai-nilai Pancasila, agama, dan kearifan lokal akan tergerus dalam gelombang liberalisme total.
Indonesia adalah bangsa yang dibangun di atas fondasi spiritualitas, kebersamaan, dan nilai moral yang luhur. Jika liberalisasi politik di negeri ini mengikuti jejak Eropa yang mengorbankan agama atas nama kebebasan, maka kita sedang membuka jalan bagi krisis identitas nasional. Agama akan direduksi menjadi urusan privat tanpa relevansi dalam ruang publik. Lembaga-lembaga keagamaan akan kehilangan peran sosial, dan masyarakat akan terdorong menjadi semakin individualistis dan konsumtif.
Hal yang sama juga berlaku pada wacana sekularisasi sebagaimana dikemukakan Harvey Cox. Menurutnya, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari pengaruh metafisika, baik yang berasal dari agama maupun tradisi atau mitologi. Ia menjelaskan bahwa aspek metafisik terdapat pada tiga hal yaitu alam, nilai, dan politik. Di Barat, sekularisasi politik justru menyeret masyarakat kepada cara pandang eupraxophis, yakni kehidupan praktis yang terlepas dari nilai-nilai transenden.
Bayangkan bila sekularisasi semacam ini diterapkan secara utuh di Indonesia. Alam akan diperlakukan sebagai komoditas ekonomi semata tanpa dimensi spiritual, sehingga akan terjadi eksploitasi berlebihan dan kerusakan lingkungan. Nilai-nilai luhur seperti gotong royong, kejujuran, dan tanggung jawab akan digantikan dengan relativisme moral yang rentan terhadap manipulasi untuk membenarkan tindakan yang sesungguhnya tidak etis atau salah. Sementara itu, politik akan kehilangan arah moral, berubah menjadi panggung kepentingan pragmatis yang jauh dari visi etis dan spiritual.
Dalam masyarakat seperti ini, hukum bukan lagi cerminan keadilan substantif, melainkan sekadar produk teknokratis yang bisa berubah sesuai selera kekuasaan. Hukum hanya mengedepankan kepastian hukum atau positivistik yang mengabaikan keadilan dan kemanfaatan. Para pejabat akan kehilangan kompas moral dan lebih mementingkan popularitas atau elektabilitas dibanding integritas dan tanggung jawab. Konsekuensinya, rakyat akan semakin skeptis terhadap pemimpin, dan kohesi sosial bangsa akan melemah.
Sebagai bangsa yang memegang teguh Pancasila dengan sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa" sebagai fondasi utama, Indonesia tidak bisa begitu saja mengadopsi model liberalisasi dan sekularisasi ala Barat. Kita harus membangun sistem yang menghormati kebebasan namun tetap berpijak pada nilai-nilai transendental yang telah mengakar kuat dalam budaya dan agama kita.
Penting untuk disadari bahwa modernitas tidak harus menyingkirkan agama. Demokrasi tidak mesti bertentangan dengan spiritualitas. Justru, Indonesia berpotensi menjadi contoh keberhasilan sintesis antara kemajuan dan nilai-nilai luhur, antara rasionalitas dan keimanan, antara kebebasan dan tanggung jawab moral.
Karena itu, kita perlu menjaga agar arah liberalisasi dan sekularisasi di Indonesia tidak kehilangan jati diri bangsa. Pendidikan kebangsaan harus memperkuat karakter religius dan etis, para pemimpin harus menjadi teladan moral, dan masyarakat harus terus diberdayakan agar tidak terjebak dalam arus global yang membutakan arah hidup.
Jika kita gagal menjaga batas antara kemajuan dan pengikisan nilai, maka bukan tidak mungkin kita akan menjadi bangsa yang maju secara teknologi, namun miskin secara spiritual dan rapuh secara sosial. Sudah saatnya kita reflektif dan waspada, jangan sampai kebebasan yang kita perjuangkan justru mengorbankan akar moral dan identitas bangsa sendiri.
Penulis: Fahmi Rahmatan Akbar
Editor: Muhamad Saepul Saputra
Ilustrator: Zulfan Rahma P
0 Komentar