Ilustrasi: Ai
Indonesia merupakan negara multikultural dengan beragam suku dan budaya, bahkan agama. Agama pun masih terbagi atas berbagai aliran, salah satunya agama Islam. Keberagaman,mulai dari madzhab yang dianut, kyai yang dijadikan panutan, sampai berbagai
kajian dan majlis taklim yang diikuti. Perbedaan ini menimbulkan tumbuhnya
berbagai organisasi islam diantaranya, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Salafi,
dan sebagainya.
Keberagaman ini sudah ada di Indonesia sejak lama. Yang
paling menonjol adalah 2 organisasi besar Islam di nusantara yakni Nahdlatul
Ulama yang berdiri sejak 1926 oleh K. H. Hasyim Asy'ari, serta Muhamadiyah yang didirikan tahun 1912 oleh K. H. Ahmad Dahlan.
Keduanya sama-sama memiliki pondasi yang kuat dalam
persoalan aqidah, hubungan terhadap sesama manusia, terutama hubungan terhadap sang Kholiq. Hal ini sering menyebabkan perbedaan yang mencolok.
Nahdlatul Ulama yang lebih dikenal seperti islam tradisional, dalam artian, syariat-syariat islam yang masuk
ke indonesia sudah banyak yang mengalami akulturasi. Sedangkan Muhammadiyah
lebih dikenal dengan islam modern yang tentu saja, memisahkan antara tradisi
budaya dengan ibadah.
Perbedaan ini kerap menimbulkan banyak perdebatan. Sebagai contoh umum, Nahdatul Ulama kental dengan tradisi tahlilan yaitu berdoa bersama untuk mendoakan sanak keluarga atau saudara yang sudah meninggal, sedangkan dalam ajaran muhammadiyah menganggap bahwa tradisi tahlilan ini tidak perlu dilakukan. Sikap inklusif dan
toleran tentu akan sangat membantu dalam menyikapi perbedaan ini. Namun ini
akan berbeda jika yang ditunjukkan adalah sikap intoleran dan eksklusif. Ini
sering menimbulkan pelbagai problematika seperti saling sindir, mengklaim
kebenaran secara sempit,hingga membatasi pergaulan.Ketika fanatisme tumbuh
didalam diri seseorang, seharusnya toleransi tetap ada. Namun ironisnya,
toleransi semakin menipis dan justru sikap permusuhan yang diperlihatkan.
Tapi yang menarik adalah, berbeda dengan keluarga Sukendar
(nama tidak sebenarnya). Warga Desa Ledug, Kecamatan Kembaran, Kabupaten
Banyumas ini yang memiliki 4 orang anak dan sudah berkeluarga. Si Sulung
merupakan penganut Muhammadiyah, berbeda dengan orangtua dan ketiga adiknya
yang penganut Nahdlatul Ulama. Perbedaan ini sering membuat mereka berbeda
pendapat. Namun, bukankah berbeda pendapat itu termasuk hal yang wajar?
Nilai-nilai
toleransi dalam keluarga ini masih terlihat sangat jelas. Meskipun sudah
berbeda rumah tetapi masih satu desa. Ketika orangtua si sulung mengadakan
peringatan kematian, atau apapun yang berkaitan dengan tahlilan,ia tetap hadir
meskipun hanya duduk diam tanpa ikut membaca lantunan lantunan ayat suci
layaknya tamu lainnya. Kehadirannya hanya untuk menghargai kedua
orangtuanya. Tak jarang pula, si sulung
ini sering memberikan berbagai wejangan kepada keluarga. Memang tidak dapat
dipungkiri, sering sekali perdebatan muncul. Akan tetapi, ketika suasana mulai
memanas, selalu ada yang mengakhirinya. Bukan marah, bukan pula tersinggung,
hanya diam untuk meredakan suasana.
Perbedaan
yang lainnya muncul ketika Hari Raya Idul Fitri. Beberapa tahun silam,
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah dalam merayakan hari Raya Idul Fitri berbeda
harinya. Hal semacam ini sudah biasa terjadi. Ia tetap melaksanakan sholat ied
di masjid Muhammadiyah. Lalu, keesokan harinya baru bisa merasakan halal bi
halal dengan keluarga maupun tetangga sekitar.
Sebuah
bentuk toleransi yang nyata. Sesederhana itu bukan, memelihara sifat toleransi
terhadap orang-orang yang disayang.
Meskipun
pada kenyataannya, hidup di kelilingi
oleh kaum mayoritas ini tentu saja membatasi ruang publiknya. Mulai dengan
interaksi bersama tetangga sekitar, hingga pembatasan waktu main untuk
anak.Dari mulai cara berpakaiannya, celana diatas mata kaki, baju koko yang
panjangnya hingga lutut, jilbab besar, hingga cadar. Semua ini masih dianggap
aneh bagi kaum mayoritas.
Membatasi
ruang publik bukan berarti anti sosial. Menghabiskan waktu lebih banyak dirumah
namun interaksi tetap berjalan. Tetap menghadiri ketika ada gotong royong atau
hajatan.
Toleransi
tidak muluk-muluk selalu tentang cara ibadah. Toleransi sosial pun sangat
dibutuhkan agar tercipta kenyamanan hidup berdampingan dalam masyarakat. Jika
memang sifat tenggang rasa dengan orang banyak tidak mudah dilakukan, tidak ada
salahnya memulai dari orang-orang terdekat.Tenggang rasa akan terasa mudah jika
fanatisme dalam diri seseorang bisa ditempatkan pada yang seharusnya dengan
tanpa ada perilaku yang merendahkan pihak lain. Indonesia ada karena banyaknya
perbedaan dan kuatnya sifat toleransi pada manusianya.
Editor : Aisyah
0 Komentar