pinterest.co
Tahun rilis : 1955
Genre : Komedi
Sutradara : Usmar Ismail
Pemain : M. Pandji Anom
Hassan
Sanusi
Tina
Melinda
Cassim
Abbas
Chitra
Dewi
Udjang
Sekitar bulan Agustus 2009 saat saya masih
duduk di kelas 3 SMP, TVRI mengadakan peringatan HUT RI dengan menyiarkan
film-film lama seperti Tiga Dara, November 1828, dan Tamu Agung. Salah satu
film yang saya tonton dari awal hingga selesai adalah film Tamu Agung yang
dirilis tahun 1955. Hampir delapan tahun kemudian saya berkesempatan melihat
film ini lagi melalui seorang teman di Surabaya. Film ini disutradarai H.Usmar
Ismail yang dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia dan salah satu pendiri
Lesbumi
Tamu Agung berlatar belakang di sebuah
Desa pinggiran kabupaten yang kurang makmur masyarakatnya bernama Desa
Sukaslamet. Suatu hari Desa Sukaslamet geger oleh kabar kedatangan “Tamu Agung”
ke kabupaten
mereka dan kemungkinan akan mengunjungi Desa Sukaslamet. Para pejabat desa
beserta rakyat sangat mengharapkan kedatangan tamu agung itu dengan harapan
sang tamu agung dapat menolong mereka mengatasi himpitan ekonomi karena desa
mereka yang masih tertinggal. Pak Wedana (diperankan Hassan Sanusi) kemudian
mengutus Pak Midi (Udjang) yang kebetulan satu partai dengan tamu agung untuk
menjemput tamu agung yang akan berkunjung ke kota. Setibanya di kota, Pak Midi
malah kebingungan karena tidak bisa mendapati si tamu agung. Dalam
kebingungannya tersebut, dia bertemu dengan tukang obat bernama Slamet (M. Pandji
Anom) dan seorang asistennya (diperankan Cassim Abbas), yang mengeluh karena
obatnya tidak laku akibat para langganan berlari meninggalkan dagangannya,
menuju suatu tempat yang dikabarkan akan datang seorang tamu agung di sana.
Mereka berpikir harus pindah ke suatu daerah di mana tidak akan pernah ada tamu
agung datang ke sana. Dan Desa Sukaslamat, tempat Pak Midi tinggal, yang
kemudian menjadi pilihan. Dengan diiming-imingi obat penghilang uban dan
perjalanan dengan menggunakan mobil, Pak Midi bersedia menumpang sembari
menunjukkan jalan ke Desa Sukaslamet.
Karena kedatangan mereka menggunakan
mobil, mereka disambut oleh masyarakat desa sebagai tamu agung yang dinanti
nantikan. Pak Midi yang ingin menjelaskan bahwa yang datang itu bukan tamu
agung, melainkan tukang obat, tidak mendapat kesempatan. Masyarakat sudah yakin
begitu saja bahwa si tukang obat adalah tamu agung. Dua orang tukang obat
tersebut malah memanfaatkan situasi tersebut agar bisa menjadi raja sehari, dan
menikmati sandiwara yang terjadi begitu saja. Mereka pun di sambut oleh para
pejabat desa, wanita-wanita cantik, sajian makanan, dan juga berbagai keluhan
dan negosiasi dari para pejabat tentang permasalahan yang ada di Desa
Sukaslamet. Cerita mencapai klimaks ketika si tukang obat yang bernama Slamet,
yang dianggap sebagai tamu agung, hilang di dalam hutan ketika Pak Wedana
mengajaknya untuk melihat telaga, di mana telaga ini menjadi mimpi Pak Wedana
bagi pembangunan Desa Sukaslamet. Pak Midi dan asisten tukang obat yang secara
diam-diam mengikuti mereka akhirnya juga terlibat polemik di dalam hutan.
Ketika Pak Wedana yang cemas atas kehilangan ‘tamu agung’ itu berusaha
mencarinya, tukang obat, asisten tukang obat, dan Pak Midi bertemu, lalu
mengikat sumpah untuk tidak membocorkan rahasisa mereka, bahwa sesungguhnya si
tukang obat bukanlah tamu agung.
Sekembalinya dari hutan, Pak Wedana
mengabarkan bahwa tamu agung telah hilang entah ke mana di dalam hutan. Setelah
melalui perdebatan, akhirnya para pejabat desa sepakat untuk mencari tamu agung
ke dalam hutan, bersama-sama warga desa. Pencarian ke dalam hutan ini kemudian
menjadi antiklimaks, ketika akhirnya Pak Midi malah membeberkan rahasia mereka,
bahwa orang yang mereka cari itu bukanlah tamu agung, melainkan orang yang
berprofesi sebagai tukang obat.
Sindiran Sosial Politik Masa Lalu dan Masa Kini
Tamu Agung dibuat ketika Republik
Indonesia sedang berada dalam Demokrasi Parlementar dan di tahun itu pula
digelar Pemilu yang pertama. Demokrasi Parlementer telah menyebabkan kabinet
yang berganti-ganti karena banyaknya Partai Politik dan akhirnya pembangunan
tidak berjalan dengan baik karena para pemimpin bangsa di Parlemen saat itu
sibuk dengan kepentingan partainya. Hal ini beberapa kali disindir secara tidak
langsung dalam Tamu Agung. Salah satunya ketika seorang pejabat desa
mempertanyakan sikap Pak Midi yang mendadak acuh terhadap Bapak Tamu Agung yang
hilang dengan berkata,”Barangkali Pak Midi ada siasat politiknya, sekarang
macam-macam akal orang untuk mencari nama dan pengaruh.” Sebetulnya sindiran
Usmar Ismail di Tamu Agung terhadap kongkalikong politik yang dilakukan pejabat
negara hingga menyebabkan kewajiban menyejahterakan masyarakat menjadi
terbengkalai tidak hanya berlaku pada masa Demokrasi Parlementer, bahkan kian
menjadi-jadi pada pemerintahan yang sekarang. Terlihat bagaimana para pejabat
negara berlomba-lomba mencari nama dan pengaruh bahkan sampai mengobral agama
untuk kepentingan politiknya. Padahal kondisi ekonomi masyarakat dewasa ini
sedang terhimpit dan kurs rupiah yang masih lemah.
Usmar Ismail dengan Tamu Agungnya juga
dengan berani mengkritik satu sisi gaya kepemimpinan Presiden Sukarno yaitu
menganggap diri sebagai raja (lihat buku Catatan Seorang Demonstran Soe Hok
Gie). Dengan sosok Tamu Agung sebagai metafora, Tamu agung dianggap sebagai
seorang yang sangat istimewa bahkan penyambutannya sangat meriah, dan tamu
agung diperlakukan bak seorang raja. Penggambaran tokoh tukang obat yang
dianggap sebagai tamu agung adalah representasi dari Sukarno mulai dari gaya
berpakaian yang necis, mengenakan peci yang menjadi representasi seorang
nasionalis, membawa tongkat, gaya berpidato dan memberi salam, serta
kecenderungannya yang gila wanita. Ciri khas dari pemerintahan Soekarno yang
lain adalah tentang seremonial dan tata pemerintahan yang sangat berjiwa
feodal. Dalam adegan rapat penyambutan tamu agung, juga bisa kita sadari
tentang persaingan politik pada masa itu, di mana ada banyak partai politik
yang bersaing dalam pemilu. Di dalam adegan, terjadi perdebatan antara Pak Midi
dengan Mantri Cacar. Pak Midi dengan pecinya, anggota dari sebuah partai yang
sama dengan tamu agung, mewakili kelompok yang pro dengan pemerintahan,
menggambarkan sosok yang nasionalis. Berhadapan dengan lawan debatnya, Mantri
Cacar, yang terlihat mewakili golongan sosialis, yang pro rakyat.
Isu feminisme juga diusung oleh Usmar
Ismail melalui karakter ibu Wedana yang sangat berambisi menjadi ibu bupati,
berbanding terbalik dengan Pak Wedana yang tidak gila kuasa dan memilih
mengabdi demi kesejahteraan rakyat Sukaslamet. Namun Usmar Ismail membuat
paradoks tentang posisi perempuan pada masa itu. Para wanita diperlihatkan
lebih dominan dari laki-laki saat penyambutan Tamu Agung dan pengenalan
terhadap perkumpulan wanita di Desa Sukaslamet. Namun di sisi lain Usmar Ismail
mengkritik posisi perempuan sebagai alat dalam melakukan lobi politik. Seperti
dalam dialog ketika tamu agung gadungan dijamu oleh para wanita, pujian demi
pujian diucapkan oleh tukang obat digunakan oleh ibu Wedana untuk mempengaruhi
legitimasi “Tamu Agung” agar menaikkan pangkat suaminya dan dirinya sendiri.
Faktanya hingga saat ini, perempuan masih menjadi sosok penting dalam
memperkuat lobi politik. Kita bisa melihat dewasa ini kasus korupsi dan suap
yang melibatkan wanita sebagai alat mempermudah lobi dengan tokoh politik
tertentu.
Usmar Ismail mengakhiri Tamu Agung dengan
sebuah kritikan yang diperlihatkan melalui perkataan pak Midi di akhir
film,”Kita musti berusaha, Pak Wedana harus memimpin kita, jangan bergantung
lagi sama satu tamu agung atau siapa saja. Nasib kita terletak di tangan kita
sendiri.”
Sosok Tukang Obat yang menjadi Tamu Agung
mungkin bisa dijadikan representasi sebagai orang asing, yang tidak tahu
kondisi sebenarnya dari Desa Sukaslamet sedangkan pak Wedana yang menjadi
pimpinan desa Sukaslamet mesti mendapat dukungan rakyat dan selanjutnya bekerja
bersama-sama membangun desa menjadi maju seperti yang dicita-citakan. Artinya
bangsa Indonesia hendaknya mampu menjadi negeri yang maju dengan kekuatan
sendiri dan tidak tergantung pada negara lain ataupun orang-orang asing. Kita
bisa lihat saat ini bagaimana anak bangsa kita seringkali kalah dengan orang
asing di negeri sendiri, bahkan sampai tingakatan kebudayaan seperti budaya
islam sekalipun, kita tetap “dijajah” oleh orang asing, entah itu Barat, Korea,
Jepang, atau Arab. Akhir film ini memberi pesan kepada kita bahwa dalam
membangun negara dan bangsa yang terpenting adalah adanya persatuan dan saling
percaya antara pemimpin dengan rakyatnya. Bukannya saling unjuk wibawa agar
dijadikan pimpinan ataupun “meminta belas kasihan” negara lain
Tamu Agung menjadi film komedi yang
lengkap dengan segala potret sosial politik bangsa kita yang rupanya sejak
tahun rilisnya film ini belum membaik, bahkan semakin menjadi-jadi. Kita mungkin
tidak akan tertawa terpingkal-pingkal saat melihat film ini seperti kita
menyaksikan My Stupid Boss ataupun
film-film Warkop DKI. Namun setidaknya kita kita bisa tersenyum
menertawai diri kita sendiri, keadaan bangsa kita sendiri. Semoga saja dengan menertawakan
keadaan kita sendiri akan menjadi langkah awal untuk membangun bangsa ini
menjadi lebih baik. Hahaha
|
0 Komentar