Ticker

6/recent/ticker-posts

Belajar dari Trans7 dan Kegaduhan yang Sebenarnya Tidak Perlu

(Ilustrator: Gemini)

Ramainya tagar #BoikotTrans7 belakangan ini bikin saya berpikir banyak hal tentang hubungan antara media, agama, dan cara kita sebagai masyarakat beriman menanggapi kritik. Semua berawal dari satu tayangan yang dianggap menyinggung dunia pesantren. Dalam sekejap, internet jadi riuh. Orang-orang marah, media diserang, dan Trans7 seolah jadi simbol dari “media yang kelewat batas”. Tayangan yang menyinggung kehidupan pesantren dituding telah melewati batas, menyinggung perasaan umat, dan dianggap tidak menghormati simbol-simbol suci. Sementara sebagian orang mulai bicara tentang moralitas media dan hilangnya adab dalam penyiaran.

Sebagai mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, saya sering diajarkan bahwa komunikasi itu bukan cuma soal bicara, tapi juga soal mendengar. Kalau dua-duanya gak jalan, ya konflik pasti muncul. Dalam kasus Trans7 ini, saya merasa kita semua sedang gagal mendengarkan. Media gagal memahami sensitivitas publik, publik gagal memahami niat di balik kritik.

Lucu ya, ketika media bicara soal feodalisme di pesantren, tiba-tiba banyak yang tersinggung. Padahal yang dikritik bukan agama, apalagi santri, melainkan sistem. Sebuah sistem yang, kalau kita mau jujur, memang ada sisi gelapnya. Ada relasi kuasa yang gak seimbang, ada tradisi yang kadang terlalu kaku, dan ada orang-orang yang mungkin menyalahgunakan posisi.

Tapi masalahnya, begitu kata “pesantren” muncul di media, semua jadi sensitif. Kita langsung refleks defensif, seolah yang disentuh bukan sistemnya, tapi keyakinannya. Padahal, Islam sendiri gak pernah menolak kritik. Dalam sejarahnya, Nabi aja pernah dikritik dan beliau malah menanggapi dengan bijak.

Kalau dipikir-pikir, yang bikin situasi ini runyam sebenarnya bukan tayangannya aja, tapi cara kita memperlakukan media. Kita sering berharap media itu sempurna, suci, dan gak boleh salah. Begitu ada yang sedikit menyinggung perasaan, langsung minta boikot. Padahal, media itu cermin masyarakat. Kalau cerminnya retak, berarti wajah kita juga perlu diperiksa, bukan malah disalahkan cerminnya.

Saya gak menutup mata, media memang harus punya tanggung jawab besar. Ada etika, ada rasa, dan ada konteks yang harus dijaga. Tapi di dunia penyiaran modern, proses produksi gak sesederhana itu. Ada tim riset, ada produser, ada sensor internal, dan semuanya bekerja dengan target tayangan yang harus bisa menarik penonton. Kadang, di tengah kejar tayang, sensivitas sosial itulah yang justru sering terlewat. Dan, apakah itu sebuah kesalahan? Tentu iya. Tapi apakah harus dibalas dengan kebencian? Hmm belum tentu.

Di kampus, dosen saya pernah bilang bahwa penyiaran Islam bukan berarti hanya menayangkan hal-hal yang “aman” atau “indah”. Justru penyiaran Islam itu harus bisa menghadirkan percakapan yang jujur, termasuk soal sisi gelap dunia keagamaan. Kalau ada feodalisme, kalau ada ketimpangan, ya harus dibahas. Hanya saja, pembahasannya harus bijak.

Nah, kata “bijak” inilah yang sering hilang dari ruang media kita. Media jadi terlalu cepat menyoroti tanpa konteks, masyarakat terlalu cepat menghakimi tanpa berpikir. Padahal keduanya bisa saling belajar. Media bisa belajar sensitif, publik bisa belajar terbuka. Tapi ya itu, sering kali kita terlalu sibuk marah sampai gak sempat duduk bareng dan ngobrol dengan tenang.

Sebagai mahasiswa KPI, saya merasa peran kami tuh justru di tengah-tengah. Kami gak bisa sekadar membela media atau membela masyarakat. Kami harus belajar memahami dua-duanya. Di satu sisi, kami belajar tentang etika dakwah dan cara berbicara yang santun. Tapi di sisi lain, kami juga belajar bahwa kebenaran kadang butuh ruang untuk diungkap, meski gak enak didengar.

(Ilustrator: Gemini)

Kalau media selalu takut menyinggung, nanti siapa yang berani ngomong hal-hal yang penting tapi tabu? Dan kalau masyarakat terus menolak kritik, nanti siapa yang berani memperbaiki sistem dari dalam?

Menurut saya, kasus Trans7 ini bisa jadi pelajaran penting untuk semuanya. Bagi media, ini pengingat bahwa kebebasan berekspresi gak boleh mengabaikan sensitivitas sosial. Bagi masyarakat, ini pengingat bahwa iman bukan alasan untuk menolak refleksi. Bagi kami mahasiswa KPI, ini latihan untuk berpikir kritis dan tetap beradab di tengah dua arus besar itu.

Yang menarik, banyak juga yang justru memanfaatkan tagar #BoikotTrans7 buat konten lucu atau debat kusir. Di situ saya makin sadar bahwa ruang publik kita memang rentan. Orang lebih suka berteriak daripada mendengarkan. Padahal, kalau mau tenang sejenak, sebenarnya ini momen bagus buat ngomongin hal-hal serius. Soal relasi kuasa di lembaga keagamaan. Dan juga soal tanggung jawab media dalam framing isu sensitif.

Saya gak membela Trans7, tapi saya juga gak mau ikut marah semarah-marahnya tanpa memahami konteks. Kadang, yang kita butuhkan bukan aksi boikot, tapi percakapan sehat. Karena boikot hanya menghentikan tayangan, tapi percakapan bisa membuka pikiran.

Dan saya percaya, kalau komunikasi Islam benar-benar dipahami, ia akan jadi jalan tengah yang lembut tapi tegas. Bukan Cuma soal menyebarkan dakwah, tapi juga soal menumbuhkan kedewasaan dalam berbicara, mendengar, dan menanggapi perbedaan.

Jadi, sebelum kita berteriak “boikot”, mungkin kita perlu bertanya dulu, sudah sejauh apa kita memahami persoalan yang kita marahi? Jangan-jangan, kita bukan sedang membela agama, tapi sedang melindungi ego kolektif yang takut dikritik.

Kalau begitu, siapa yang sebenarnya perlu diberi ruang refleksi? Media? Atau kita sendiri?

Penulis: Rendi

Editor: Fahmi Rahmatan Akbar, Muhamad Saepul Saputra



Posting Komentar

0 Komentar